Menurut wikipedia, Genosida atau genosid (Bahasa Inggris: Genocide) adalah sebuah pembantaian besar-besaran secara sistematis terhadap satu suku bangsa atau sekelompok suku bangsa dengan maksud memusnahkan atau (membuat punah) bangsa tersebut.
Genosida sendiri berasal dari kata “genos” yang artinya “generasi” dan “sida” yang artinya pembunuhan. Jadi pembunuhan yang dimaksutkan disini adalah sebuah pembunuhan massal untuk menghabisi seluruh generasi sebuah bangsa tanpa pandang bulu mencakup wanita dan anak-anak tak berdosa.
Genosida bukanlah hal yang baru bagi manusia. Genosida sudah ada dan terjadi dalam sejarah panjang umat manusia. Banyak arkeolog menduga bahwa punahnya spesies manusia kera “Neanderthal” karena dipicu pembantaian massal yang dilakukan oleh tetangganya, “Homo sapiens”, yg tidak lain adalah kita sendiri.
Jadi, apakah aksi genosida sendiri sudah mengakar dalam genetik kita? Semoga tidak.
Creepy Files telah merangkum 10 aksi Genosida Terkejam Sepanjang Sejarah Manusia yang diambil dari beberapa sumber terpercaya, artikel ini akan memperlihatkan betapa kejamnya umat manusia.
10. GENOSIDA BANDA
- Pelaku: VOC di bawah pimpinan JP Coen
- Tahun: 1621
- Tempat: Pulau Banda, Maluku
- Korban: Penduduk asli Banda
- Jumlah korban: 13.000 jiwa

Indonesia, Tanah air yang kita cintai ini pun pernah menjadi saksi dari salah satu genosida terkejam sepanjang sejarah.
Pada tahun 1609, kapal VOC tiba di Kepuauan Banda untuk berdagang pala (Pala merupakan tumbuhan berupa pohon yang berasal dari kepulauan Banda, Maluku). Kala itu, pala merupakan salah satu rempah-rempah eksotis yang memiliki harga yang sangat tinggi di eropa.
Belanda pun murka karena mengetahui rakyat Banda lebih suka berdagang dengan kompetitornya, yaitu Inggris.
Dan pada puncaknya, JP Coen pemimpin VOC kala itu, mengadakan pembantaian besar-besaran terhadap penduduk asli Banda. Pembantaian dilakukan tanpa pandang bulu, termasuk wanita dan anak-anak, semuanya dibunuh dalam genosida tersebut.
Sedangkan kepala dan potongan tubuh para pemimpin mereka ditancapkan di batang bambu sebagai peringatan akan kekejaman mereka. Dari 14.000 penduduk yang hidup damai di pulau tersebut kala itu, hanya tersisa 480 orang yang berhasil meloloskan diri dari pembantaian tersebut.
Semua darah yang tertumpah itu hanya demi pala.
9. PERANG SALIB ALBIGENSIAN
- Pelaku: Kaum Katolik Prancis di bawah pimpinan Paus Innocent III
- Tahun: 1209-1229
- Tempat: Languedoc, Prancis
- Korban: Penganut Agama Cathar
- Jumlah korban: 200.000 – 1 juta jiwa

Apa yang ada dipikiran anda jika anda mendengar kata “Perang Salib”? Apakah sebuah permusuhan antara kaum Kristiani dengan Muslim untuk memperebutkan Tanah Suci?
Ya, anda tidak salah jika terpikir hal itu, namun kali ini kita akan membahas tentang”Perang Salib” yang berbeda, dan ini terjadi di tanah Eropa.
Pada abad ke-11, berkembanglah sebuah agama bi’dah yang bernama Cathar. Agama beraliran gnostik ini mengakui Injil dan menyebut diri mereka Kristen, namun mempercayai bahwa ada dua Tuhan, yakni satu Tuhan yang baik dan satu Tuhan yang jahat (dualisme). Gereja Katolik di bawah pimpinan Paus, penguasa tertinggi di Eropa kala itu, tentu saja menganggap aliran tersebut sesat.
Para penganut Cathar disebut sebagai Albigensian (penduduk Albi), sebab sebagian besar bermukim di kota Albi, di wilayah selatan Prancis. Paus Innocent III kemudian mengutus tentara yang dipimpin seorang jenderal bernama Arnaud Amalric untuk menghabisi kaum Albigensian.
Amalric yang berhasil mengepung kota tersebut awalnya meminta seluruh umat Katolik yang berdiam di kota tersebut untuk keluar menyelamatkan diri, sebab ia hanya menyasar kaum Cathar yang ia anggap sesat. Namun penduduk kota yang beragama Katolik saat itu bersikeras tetap tinggal untuk membantu tetangga-tetangga mereka yang beraliran Cathar.
Tanpa pilihan lain, Amalric menyerang kota tersebut dan membantai semua yang tinggal di kota tersebut.
Ketika salah satu tentara kepausan bertanya, bagaimana cara membedakan kaum Cathar dan sesama mereka yaitu kaum Katolik, Amalric hanya menjawab: “Bunuh saja semua. Biar Tuhan sendiri nanti yang membedakan mereka.”
Pada akhir penyerangan, sekitar 200 ribu penduduk kota tewas mereka bantai tanpa pandang bulu. Aksi genosida itu terus meluas hingga akhirnya pada tahun 1350, agama Cathar-pun akhirnya musnah.
8. GENOSIDA RWANDA
- Pelaku: Etnis Mayoritas Hutu
- Tahun: 1994
- Tempat: Rwanda, Afrika
- Korban: Etnis Minoritas Tutsi
- Jumlah korban: 1 juta jiwa

Cerita mengenai Genosida Rwanda ini cukup unik, sebab aksi ini justru bisa dikenal luas berkar sebuah film hollywood yang berjudul “Hotel Rwanda” yang memperoleh piala Oscar.
Konflik ini terjadi dengan melibatkan dua suku asli Rwanda, yaitu “Hutu” dan “Tutsi” yang selalu bermusuhan. Padahal secara fisik, kedua suku tersebut tidak bisa dibedakan. Bakan mereka memiliki agama, kebudayaan, hingga bahasa yang sama.
Pemicu utama genosida ini adalah karena terbunuhnya presiden Rwanda kala itu. Presiden Rwanda kala itu adalah seorang Hutu dan meninggal karena pesawat kenegaraannya ditembak jatuh.
Ini memicu kemarahan suku Hutu yang menuduh suku Tutsi sebagai pelakunya. Pertumpahan darah pun tak terhentikan dan lebih parahnya, genosida tersebut disponsori oleh pemerintah.
Akibatnya, bukanlah tentara yang membunuh sebagian besar kaum Tutsi, melainkan justru tetangga dan penduduk sekampungnya sendiri yang sudah diprovokasi oleh pemerintah. Yang lebih mengerikan, genosida ini juga menargetkan kaum Hutu moderat yang membantu suku Tutsi.
Pada akhir pembantaian besar-besaran tersebut, 70% penduduk dari etnis Tutsi terbunuh dan dunia internasional terguncang karena kekejamannya.
7. GENOSIDA ARMENIA
- Pelaku: Kekhalifahan Utsmaniyah di bawah pimpinan Sultan Abdul Hamid II
- Tahun: 1915-1922
- Tempat: Turki
- Korban: Kaum Minoritas Kristen Ortodoks Armenia
- Jumlah korban: 1,5 juta jiwa

Hukum Islam di Armenia mewajibkan kaum non-Muslim di wilayah kekuasaan mereka (disebut “dhimmi”) untuk tetap dilindungi dan dihargai hak beribadahnya, setelah membayar pajak yang disebut “Jizya”.
Dalam Kekhalifahan Utsmaniyah (Dinasti Ottoman) yang memegang kekuasaan di Turki, Siria, dan Irak; hal tersebut tetap dilakukan. Namun pada Perang Dunia I, dimana perang besar-besaran berkecamuk di Eropa, Sultan Abdul Hamid II menaruh kecurigaan pada kaum Kristen Ortodoks Armenia yang selama ini tinggal di wilayah mereka.
Ia mencurigai mereka tidak loyal terhadap pemerintah Muslim dan lebih berpihak pada Kekaisaran Kristen di Rusia. Akibatnya, dengan berani ia mengusir hingga 2 juta warga minoritas Kristen Ortodoks dari wilayahnya ke padang gurun tanpa tujuan, menyebabkan sebagian besar dari mereka tewas.
Yang mengerikan, bukan hanya kaum Armenia saja yang menjadi korban pembantaian oleh Kekhalifahan ini. Di tempat lain, terjadi tiga genosida lain yang menyasar penduduk minoritas Kristen Ortodoks.
Dalam kurun waktu 1914-1922, kaum Kristen Ortodoks Yunani di Anatolia, Turki juga menjadi korban pembantaian besar-besaran. Di Persia, pada tahun 1915-1923, kaum Kristen Ortodoks Assiria juga mengalami hal serupa.
Dalam setiap genosida, masing-masing jatuh hingga 750.000 korban jiwa. Tak lupa, pada 1915-1918 juga terjadi genosida kaum Kristen Maronit di Lebanon yang menyebabkan 200.000 jiwa meninggal. Sehingga total korban dari empat genosida tersebut mencapai hingga 3,2 juta jiwa.
Tak heran, setelah Perang Dunia I, Kekhalifahan Utsmaniyah akhirnya runtuh.
6. THE PARTITION OF INDIA
- Pelaku: Kaum Muslim dan Hindu India
- Tahun: 1947
- Tempat: Wilayah India dan Pakistan
- Korban: Kaum Muslim dan Hindu India
- Jumlah korban: 1,2 juta jiwa warga Muslim dan 840.000 jiwa warga Hindu

Kita sebagai rakyat Indonesia harus bersyukur, karena dalam sejarah Perang Kemerdekaan negara indonesia, kita tak pernah mengalami seperti apa yang terjadi dalam kemerdekaan India, yaitu Genosida besar-besaran yang dilakukan justru bukan oleh penjajah, melainkan oleh bangsa mereka sendiri.
Pada 1947, India akhirnya memperoleh kemerdekaan mereka dari Inggris, namun hal tersebut didapatkan dengan bayaran yang mahal. Kaum Hindu dan Muslim di India memiliki sejarah ketidak-akuran yang panjang. Akibatnya Inggris akhirnya membagi wilayah mereka menjadi dua, yaitu India bagi penduduk mayoritas Hindu dan Pakistan untuk penduduk minoritas Muslim.
Akibatnya terjadilah migrasi besar-besaran, dimana penduduk Hindu yang bermukim di Pakistan harus pindah ke wilayah India, dan begitu pula sebaliknya.
Akan tetapi migrasi yang secara teori sederhana itu ternyata tak berlangsung sepenuhnya damai. Dari 14 juta penduduk yang terpaksa dipindahkan, terjadi kerusuhan dan pembantaian besar-besaran yang dilakukan oleh kedua belah pihak.
Kaum Hindu membantai kaum Muslim dan begitu pula sebaliknya, kaum Muslim membantai kaum Hindu. Pertikaian ini menyebabkan banyak imigran yang hilang (kemungkinan besar tewas) sepanjang perjalanan.
Bahkan seorang jurnalis yang pernah menyaksikan kamp konsentrasi Yahudi NAZI, memberitakan bahwa apa yang dia lihat jauh lebih kejam ketimbang Holocaust. ia melihat “Wanita hamil dibedah perutnya dan janinnya dibakar hidup-hidup”.
Di pihak Muslim sendiri, ada 1,2 juta penduduk yang tak pernah sampai ke Pakistan. Dan di lain pihak, ada hampir 1 juta penduduk Hindu yang tak pernah sampai ke India. Total, para ahli sejarah memperkirakan sekitar 2,3-3,2 juta jiwa tewas dalam kerusuhan antar-agama tersebut (jika menghitung etnis minoritas lain seperti Sikh).
Yang lebih parahnya lagi, aksi genosida di wilayah ini tak berhenti sampai di sana. Pada 1971, di wilayah Pakistan terjadi pembantaian besar-besaran etnis Bengali. Jumlah korbannya bervariasi menurut berbagai sumber, berkisar antara 300 ribu hingga 3 juta jiwa. Peristiwa ini memicu pecahnya negara Bangladesh dari wilayah Pakistan.
5. GENOSIDA KAMBOJA
- Pelaku: Rezim Khmer Merah di bawah pimpinan Pol Pot
- Kapan: 1975-1979
- Dimana: Kamboja, Asia Tenggara
- Jumlah korban: 3 juta jiwa (30% penduduk Kamboja)

Tak ada yang menyangka bahwa Pol Pot, seorang pemuda cerdas yang awalnya bekerja sebagai guru, menjadi salah seorang pembantai terkejam dalam sejarah umat manusia setelah pikirannya teracuni paham komunis.
Berbeda dengan genosida sebelumnya, yang dilakukan oleh suatu pihak kepada etnis, agama, atau suku lain. Pol Pot dan rezim Khmer Merah-nya justru membantai saudara sebangsanya sendiri. Tak heran, banyak ahli sejarah menyebut kejadian ini sebagai auto-genocide, sebuah peristiwa yang amat sangat langka.
Pol Pot awalnya menyasar kaum yang bukan asli etnis Kamboja. Ia amat membenci kaum pendatang dari Vietnam, Laos, dan Thailand, walaupun mereka sebenarnya sudah berasimilasi dengan budaya Kamboja sejak ratusan tahun lalu.
Secara sukses dia berhasil membunuh 100% penduduk Kamboja keturunan Vietnam, serta 40% penduduk keturunan Laos dan Thailand.
Secara khusus, dia juga amat membenci penduduk keturunan Cina karena umumnya mereka sukses di bidang perdagangan dan lebih makmur ketimbang penduduk pribumi Kamboja. Ia berhasil membunuh 50% penduduk keturunan Cina saat itu. Yang ironis, Pol Pot sendiri memiliki darah campuran Khmer dan Cina.
Pol Pot juga menyasar penduduk Muslim Cham yang dianggapnya tidak mewakili budaya asli Kamboja karena agama eksotis mereka. Dia membantai hampir separuh populasi Muslim di Kamboja. Tak hanya itu, Pol Pot yang menganut atheisme juga melarang semua agama, bahkan tega membantai 50 ribu biksu Budha yang merupakan agama mayoritas penduduk Kamboja.
Bahkan lebih dari itu, Pol Pot juga mencurigai semua cendekiawan karena dianggapnya bisa memicu pemberontakan. Bahkan, pada masa Khmer Merah berkuasa, memakai kacamata saja bisa menjadi alasan seseorang dibunuh, karena dia dianggap sebagai kaum cendekiawan yang pintar.
Kekejaman Pol Pot saat itu membantai sepertiga bangsanya sendiri dan meninggalkan luka dalam dan trauma bagi rakyat Kamboja hingga saat ini.
Salah satu bukti kekejaman tentara Khmer Merah saat itu adalah pohon “Chankiri” yang masih berdiri hingga saat ini. Para tentara saat itu tidak hanya membunuh pria dewasa saja yang mereka curigai, namun juga seluruh keluarga mereka, termasuk anak-anak.
Alasan mereka membunuh anak-anak adalah agar dia tidak tumbuh besar dan membalaskan dendam kedua orang tuanya. Cara membunuh anak-anak tersebut cukup sadis, yakni dihantamkan kepalanya ke pohon hingga tewas.
Konon, para tentara akan tertawa terbahak-bahak menyaksikan kematian anak tersebut. Bukan karena mereka tak memiliki perasaan, namun karena jika mereka menunjukkan sedikit saja simpati pada korban, mereka akan dicurigai dan menjadi target selanjutnya.
4. HOLODOMOR
- Pelaku: Kaum Komunis Uni Soviet di bawah pimpinan Stalin
- Tahun: 1932-1933
- Tempat: Ukraina, wilayah USSR
- Korban: penduduk Etnis Ukrania
- Jumlah korban: 7,5 juta jiwa

“Holodomor” adalah salah satu bukti kekejaman dari paham Komunisme yang dianut Uni Soviet kala itu. Hanya dalam kurun waktu setahun saja, wabah kelaparan yang “disengaja” oleh pemerintah Uni Soviet menghabisi hingga 7,5 penduduk Ukraina.
Setelah Revolusi Bolshevik dan menghukum mati kaisar terakhir Rusia yg tak lain adalah Tsar Nicholas II beserta keluarganya pada awal abad ke-20, pemerintahan sosialis Uni Soviet yang baru berdiri menghendaki wilayah Ukraina sebagai jajahannya.
Namun rakyat Ukraina menolak dan menghendaki berdirinya negara demokratis yang merdeka.
Uni Soviet memberantas pemberontakan tersebut bukan dengan langkah militer, namun dengan membiarkan warga Ukraina kelaparan. Dengan dalih industrialiasasi, banyak lahan pertanian berubah fungsi. Pemerintah sosialis sendiri mengkehendaki ladang gandum yang menjadi makanan pokok diubah fungsi menjadi lahan untuk tebu dan kapas yang hasilnya lebih menguntungkan.
Akibatnya kelaparan melanda seluruh wilayah Ukraina. Tak hanya itu, untuk memperbesar penderitaan rakyat Ukraina, pemerintah Uni Soviet juga menolak semua bantuan bahan pangan dari negara-negara Barat.
Kelaparan besar ini tak hanya menghantam wilayah Ukraina, namun negara tetangganya Kazakhstan juga menjadi korban. Kurang lebih 1,5 juta penduduk Kazakhstan juga ikut tewas. Dan yang lebih mengerikan, bencana kelaparan ini juga sudah pasti berakibat pada munculnya kanibalisme.
3. ATROCITIES IN CONGO
- Pelaku: Kerajaan Belgia di bawah pimpinan Raja Leopold II
- Tahun: 1885-1908
- Tempat: Kongo, Afrika Tengah
- Korban: Rakyat Pribumi Kongo
- Jumlah korban: 7.5-15 juta jiwa

Memang tak semua setuju mengatakan peristiwa sadis yang dikenal sebagai “Congo Horrors” ini sebagai genosida, namun lebih tepatnya karena “ketiadaan hukum”. Jika penduduk pribumi Banda dibantai karena komoditas pala mereka, maka penduduk Kongo juga mengalami hal serupa.
Bangsa Eropa menggunakan hasil alam mereka yang amat berharga, yaitu karet alami, sebagai dalih perbuatan biadab mereka.
Pada abad ke-19, Kerajaan Belgia menjajah Kongo, menciptakan sebuah “Free State” (negara tanpa hukum), dan mengeksploitasi hasil alamnya berupa karet secara basar-besaran. Perusahaan-perusahaan Barat yang bertempat di Kongo langsung berlomba-lomba mengumpulkan getah karet “by all means necessary”, terutama karena tidak adanya hukum yang diberlakukan oleh pemerintah kolonial di Kongo.
Mereka bahkan diperbolehkan memperkerjakan tentara militer yang bernama “Force Publique” untuk memaksa warga pribumi mengumpulkan karet. Yang ironis, tentara tersebut direkrut dari penduduk pribumi Kongo sendiri.
Segera, penduduk sipil Kongo diperbudak untuk memanen getah karet untuk diekspor. Warga yang menolak akan dibantai dan desanya dibakar. Bahkan, para budak yang menurut namun tak memenuhi kuota karet yang diinginkan akan dihukum mati. Tentara “Force Republique” juga diperbolehkan melakukan aksi sadisme mereka sendiri untuk memuaskan nafsu mereka.
Semua aksi mengerikan itu menimbulkan jutaan korban jiwa, bahkan menurunkan populasi Kongo secara dramatis. Tak hanya karena pembantaian massal, namun tak adanya layanan kesehatan menyebabkan berbagai penyakit tropis seperti penyakit tidur, cacar, malaria, dan disentri yang menyebabkan jutaan penduduk tewas.
Aksi penuh kengerian tersebut berakhir setelah para misionaris penyebar agama Kristen menyaksikan sendiri kekejaman yang terjadi di Kongo dan melaporkannya ke dunia internasional. Inggris dan Amerika Serikat, serta publik Belgia sendiri menuntut pembubaran “Congo Free State” bentukan Belgia hingga akhirnya mereka mendapatkan kemerdekaan sendiri pada 1960-an.
2. HOLOCAUST
- Pelaku: Kaum Fasisme NAZI di bawah pimpinan Hitler
- Tahun: 1939-1945 (Perang Dunia II)
- Korban: kaum Yahudi dan etnis lain
- Jumlah korban: 6-17 juta jiwa

Terkejut karena melihat Holocaust tidak di posisi pertama? Holocaust adalah genosida paling terkenal dalam sejarah dunia dan juga dipercaya memiliki jumlah korban terbanyak. Tak banyak yang bisa diceritakan disini karena kalian sendiri pasti sudah mengetahuinya, serta ada banyak sekali sumber tentang kekejaman NAZI.
Namun satu yang perlu kalian ketahui, Holocaust sendiri tak hanya menargetkan kaum Yahudi. Bahkan jika ditilik dari jumlah korban, kaum Yahudi yang dibantai bahkan tak mencapai separuhnya, hanya 45% dari total korban Holocaust. Namun tak bisa dipungkiri, populasi Yahudi jelas mendapat pukulan terberat, sebab sekitar 6 juta atau 2/3 penduduk Yahudi di Eropa menjadi korban.
Lebih dari separuh korban Holocaust ternyata justru non-Yahudi. Sekitar 2-3 juta korban adalah tawanan perang asal Rusia, 2 juta jiwa adalah penduduk etnis Polandia (termasuk Katolik), jutaan etnis Slavia (Eropa Timur), 200 ribu korban adalah kaum Gypsi, 150 korban adalah kaum Difabel, 2,5 ribu korban penganut agama Saksi Yehuwa (Jehovah Witnesses), dan tak terhitung kaum gay yang dibunuh saat Holocaust berlangsung.
Tak banyak diketahui juga bahwa aksi Holocaust ini mendapat balasan serupa ketika Jerman akhirnya kalah pada akhir Perang Dunia II. Sekitar 31 juta warga keturunan Jerman diusir dari berbagai negara yang menjadi korban kekejaman NAZI. Sekitar 2 juta warga sipil Jerman di perantauan tewas menjadi korban aksi balas dendam tersebut.
1. GENOSIDA PENDUDUK PRIBUMI AMERIKA
- Pelaku: pendatang kulit putih Eropa
- Tahun: 1600-1900 (Pasca kedatangan Columbus)
- Tempat: Seluruh Benua Amerika
- Korban: Penduduk asli benua Amerika
- Jumlah korban: 45-90 juta jiwa (90% populasi penduduk pribumi Amerika saat itu)

Amerika Serikat boleh mengaku sebagai negara yang paling menjamin HAM di dunia, namun sejarah berkata lain. Justru Amerika Serikat dan pemerintah kolonial lainnya di penjuru benua Amerika (termasuk Kanada dan Conquistador Spanyol) merupakan pelaku aksi genosida terkejam dalam sejarah planet ini.
Aksi tersebut melenyapkan 90% penduduk asli Amerika saat itu, walau mungkin tak seluruhnya disengaja.
Kedatangan bangsa Eropa ke benua Amerika jelas membawa bencana, paling tidak bagi penduduk pribumi kala itu. Pada abad ke-19, sebelum kedatangan Columbus, ahli sejarah menaksir penduduk asli Benua America paling rendah adalah 10 juta jiwa dan tertinggi 100 juta jiwa.
Namun banyak ahli sejarah sepakat di tengah-tengah, yakni sekitar 50 juta jiwa. Itu termasuk antara 2-10 juta jiwa suku Indian penghuni Amerika Utara serta 37 juta jiwa mendiami Amerika Tengah dan Selatan (terdiri atas 6 juta suku Aztec, 10 juta suku Maya, 11 juta penduduk Amazon, dan 12 juta suku Inca).
Namun bahkan di angka paling moderat pun, sekitar 50 juta jiwa, jumlah korban akibat kedatangan bangsa Barat sudah mencapai 45 juta jiwa, jauh lebih tinggi daripada genosida manapun yang sudah kita sebutkan sebelumnya.
Jumlah korban setinggi itu tak hanya datang dari korban peperangan antara pemerintah kolonial Inggris melawan penduduk asli Indian saja. Bahkan setelah pemerintah Amerika Serikat mendapatkan kemerdekaannya, mereka terus melanjutkan tradisi pembantaian itu.
Salah satu tragedi kemanusiaan paling terkenal yang menimpa kaum Indian adalah “Trail of Tears” yaitu ketika pemerintah AS yang diskriminatif mengeluarkan “Indian Removal Act” yang mengusir ribuan kaum Indian dari rumah mereka untuk ditempatkan di “tempat pengasingan” di Oklahoma. Paling tidak 25.000 anggota suku Cherokee tewas dalam perjalanan tersebut.
Banyak korban berjatuhan bukan hanya karena peperangan , namun juga karena sebuah penyakit “Eksotis” yang dibawa oleh bangsa eropa, terutama cacar yang dimana penduduk asli Amerika tidak memiliki kekebalan tubuh melawannya. Yang mengerikan, tak jarang penyakit tersebut justru dimanfaatkan sebagai senjata biologis.
Kasus paling terkenal adalah Komandan Inggris, Jeffrey Amherst, pada “Seven Years’ War” (1756-1763) memberikan selimut gratis sebagai bukti “kebaikannya” kepada penduduk pribumi Indian. Tak mereka ketahui, selimut tersebut sebenarnya sudah ditulari dengan wabah cacar dan bertujuan untuk membunuh kaum pribumi.
Baca Juga: Akuinginmati.com