– Cerita Seram –
Aku rasa cerita ini harus dimulai dengan sebuah fakta bahwa aku bukanlah orang yang beragama. Maksudku, aku masih tidak beragama hingga sekarang, tapi setidaknya sekarang aku tahu bahwa ada sesuatu yang lebih dari “Kita”.
Aku tidak mengerti tentang apa Rencana Utama atau Penghakiman Terakhir, tapi aku benci untuk memberitahu kalian bahwa aku ini atheis, namun yang ku tahu pasti bahwa ada dunia lain yang menunggu ketika kalian meninggal.
Nah, sekarang, aku berharap aku bisa memberitahukan kalian bahwa aku meninggal dengan hormat dan penuh berkat, tapi sayangnya itu semua hanya akan menjadi kebohongan yang keji. Karena, Aku adalah seorang yang bisa kukatakan sebagai orang yang menyediakan servis keintiman.
Well, mungkin lebih mudah bagi kalian untuk memanggilku pelacur. Dengan nafsu seksualku yang besar, digabungkan dengan masalah ayah yang meninggalkanku sebagai anak ‘Broken Home’. Aku pun mulai mencari perhatian dimanapun aku bisa mendapatkannya. Tinder, Grindr, dan bahkan Craiglist, dan dimanapun lelaki sedih dengan uang lebih mencari “teman” disanalah biasanya aku pergi.
Usia 19 tahun adalah usia yang sulit jikalau kau ingin menjadi seorang prostitusi, tapi kau tidak punya banyak pilihan. Aku cukup cantik dan uang yang kudapatkan juga cukup untuk membuatku tidak tidur di kolong jembatan beralaskan kardus.
Well, suatu malam, setelah sebuah pesta bujangan usai. Aku sedang berdebat keras tentang bayaranku sebesar 200 dollar yang seharunya aku dapatkan seperi biasa. Namun,semuanya berubah menjadi kacau.
Teriakan, lemparan barang, saling meninju, hingga aku tidak sadar bahwa ada sebuah pisau yang sudah menancap di pinggangku. Well, Aku adalah seorang pelacur kebingungan yang mati karena kehabisan darah di ruang tamu seorang pria asing.
Sang Kematian pun datang, aku bisa mendeskripsikan ia sebagai seorang pria yang cukup keren. Mungkin sekitar umur 20an, rambut coklat terang, pria pekerja dengan jas dan dasi. Cukup tampan jika aku boleh jujur.
Aku tidak bisa memberitahukanmu apa yang kurasakan saat hampir mati. Semuanya terjadi begitu cepat, dan sang Kematian cukup terburu-buru menjemputku. Ya, aku mengerti karena dia bukan orang yang suka membuat waktu. Aku hanya bisa menerima bahwa aku sudah mati, dan tidak banyak yang bisa kulakukan.
Sang Kematian berjalan denganku menuju ke trotoar apartemen pria itu dan kami naik bus yang kelihatannya biasa saja, dan mulai berjalan. Di dalam Bus itu telah terisi oleh beberapa orang. Orang-orang itu tidak terlihat menarik. Akupun mengambil tempat duduk di belakang sang Kematian.
“Jadi kemana kita pergi?” Aku bertanya sebagaimana seseorang yang telah mati.
Sang Kematian hanya menghela nafas dan agak acuh tidak acuh, atau kesal? ia menjawab “Tempat berikutnya.”
“Keren… dan apa itu?” tanyaku lagi.
“Tidak tahu. Bukan pekerjaanku untuk tahu.” Jawabnya
Jawabannya sama sekali tidak menjawab pertanyaanku, tapi perduli setan. Sang Kematian tentunya tidak akan memberikanku informasi apapun, jadi aku hanya duduk dan menunggu. Kami menjemput beberapa orang lainnya yang berusaha sebaiknya untuk menjaga diri mereka.
Setiap kali kami mencapai tempat baru sang Kematian selalu turun dari bangku pengemudi, meninggalkan bus, dan kembali dengan orang baru. Biasanya orang yang sudah tua, Dan aku adalah orang termuda disana.
Pemberhentian terakhir kami adalah di kota kecil dekat tempat tinggalku. Bau asap memenuhi bus. Ada rumah yang kebakaran dan kau bisa mendengar teriakan orang-orang. Sang Kematian berhenti di depan rumah, keluar, dan membawa 2 anak kecil yang tertutup abu.
Ini pertama kalinya aku merasakan perasaan negatif semenjak aku mati. Anak yang paling tua adalah lelaki berusia 11 tahun. Yang satu lagi adalah seorang gadis kecil berusia 8 tahun. Aku juga memiliki adik seumuran mereka sebelum ayahku mengusirku keluar rumah.
Itu adalah hal yang membuatku merasa sangat sedih sebelum memutuskan untuk move on dengan hidupku sendiri. Aku tidak bisa memberitahukan apa yang membuat mereka duduk di sebelahku. Mungkin karena hanya aku yang termuda disana? atau karena mereka malas untuk jalan kebelakang? Hmm.. Aku tidak tahu.
Ketika mereka duduk gadis kecil itu menarik bajuku. “Dimana mommy?“
Bocah lelaki itu terdiam dan menahan tangis. Aku tidak tahu apa yang harus dikatakan. Sangat aneh ketika usia muda dan kau harus memahami apa itu kematian. Aku pikir semuanya belajar pada waktu yang berbeda di hidupnya, tapi untuk keluarga ini mereka sudah belajar di umur 8 dan 11.
“Bukankah dia sudah memberitahumu? Dia tinggal untuk menjaga Daddy, dan mommy berkata padaku untuk membawamu jalan-jalan. Apa kau suka itu?”
Gadis kecil itu mengangguk dan tersenyum lebar ke arahku. lelaki itu melihatku dari samping adiknya. Dia melihatku cukup lama dan melihatku dengan tajam. Aku menaruh tanganku di bahunya dan tersenyum meyakinkan sebisaku. Dia hanya membuang muka dan menaruh wajahnya di tangan.
Kami naik bus itu sudah beberapa jam. Sang Kematian terus menyetir tanpa mengedipkan mata. Tidak banyak orang yang berbicara. Beberapa saling mengobrol tentang kehidupan sebelum meninggalnya dan bagaimana mereka meninggal, tapi sisanya tidak mengeluarkan suara sama sekali.
lelaki itu berhenti menangis beberapa saat setelah adiknya tidur. Aku mencoba berbicara dengannya tapi dia tidak menjawabku. Aku tetap mencoba. Untungnya setelah 9 atau 10 lelucon yang aneh, dia mulai tertawa kecil, dan untuk pertama kalinya aku merasa bahagia bertemu mereka.
“Namaku Brian.”
“Namaku Cal, senang bertemu denganmu Brian.” Brian tersenyum.
“Brian, siapa nama temanmu ini?” kataku, sambil mengelus kepala gadis kecil.
“Dia adik kecilku, Susan.”
“Aku sangat senang bertemu kalian berdua.” Kataku sambil tersenyum lebar. “Kau sungguh kuat. Kau lebih kuat daripada aku saat seusiamu.”
Brian tersenyum dan kami berbicara tentang banyak hal. Tapi akhirnya dia pun tertidur. Aku tetap terjaga. Aku tidak bisa tidur. Bus ini sudah bergerak sangat lama tapi anehnya aku tidak merasa lelah sama sekali. Pemandangan sejauh mata memandang hanyalah padang pasir.
Kami sudah jauh melewati apapun yang mewakili peradaban manusia, dan masih seperti itu sampai, beberapa kilometer terlihat sebuah bayangan hitam. Semakin kami dekat, semakin terlihat bahwa itu adalah sebuah rumah.
Rumah itu hanya satu lantai dan terbuat dari batu bata dan semen. Kelihatan seperti seseorang mengambil sebuah rumah entha darimana dan melemparkannya ke tengah-tengah kekosongan padang pasir ini. Rumah itu benar-benar tidak pada tempatnya, dan tentu saja, sang Kematian tidak perduli sedikitpun.
Kami berhenti di depan dan sang Kematian berdiri kemudian mengambil catatan dari balik jaketnya. Dia melihat dan membacakan dengan suara khasnya yang monoton.
“Pemberhentian pertama. Brian Gables. Susan Gables. Steven Witchem. Ayo berdiri dan segera turun.”
Anak-anak itu bangun mendengar nama mereka dipanggil dan melihat sekitar, bingung. Aku menarik mereka mendekat kearahku, sedikit berpikir mengapa namaku tidak terpanggil, dan apa mungkin aku akan kehilangan mereka.
Aku melihat sekeliling bus dan seorang pria yang kuasumsikan sebagai Steven berdiri dan bergerak dengan gelisah ke depan bus. Dia menggumamkan sesuatu yang tidak jelas. Sang Kematian pun mulai menghentakan kakinya dan akhirnya berjalan menemui Steven di tengah bus, menarik bajunya, dan melempar dia keluar dari bus.
Steven panik dan mulai berteriak kalau dia tidak tidak bisa masuk ke dalam. Bahwa ini semua tidak seharunya terjadi. Aku bisa merasakan Susan memegang tanganku sangat erat dan kepalanya dibenamkan di dadaku. Dia tahu ini bukan liburan. Dia tahu ada yang salah disini.
Menyadari bahwa sang Kematian tidak membiarkan dia masuk lagi ke dalam bus, Steven melihat sekali lagi ke rumah itu, bergumam sesuatu, dan mulai berjalan kearah berlawanan dari rumah itu. Sang Kematian puas bahwa dia sudah menyelesaikan pekerjaannya disini dan kembali melihat di dalam bus dan mengecek orang-orang sampai tatapannya berakhir di anak-anak sebelahku.
Brian memegang tanganku dan meremasnya sangat kencang.
“Saatnya turun dari bus.” Kata sang Kematian.
Mereka gemetar, tapi tetap terduduk di tempat mereka. Sang Kematian pun dengan berhati-hati mencengkram Brian.
“Tunggu!” Kataku terbatah. Aku berdiri dan aku berada di tengah-tengah antara sang Kematian dan anak-anak itu.
“Aku akan pergi dengan mereka.”
Alis sang Kematian mulai mengkerut. “Tapi ini bukan pemberhentianmu.”
“Aku tidak perduli.”
“Baiklah.” Kata sang Kematian sambil menghela nafas. “Lakukan apa yang kau inginkan. Cepatlah turun dari busku.” Katanya sambil melambaikan tangannya ke anak-anak itu.
Aku berbalik dan berlutut. “Well anak-anak, ini adalah pemberhentian kita.” Susan melingkarkan tangannya ke leherku dan Brian menggandeng tanganku sambil kami berjalan keluar dari bus. Segera setelah kami turun, bus itu langsung melaju lagi, meninggalkan kami di tengah-tengah debu padang pasir ini.
Aku melihat kearah kami datang dan Steven tidak terlihat dimanapun. Aku menatap rumah itu dan aku merasa familiar dengannya. Rumah ini mirip dengan rumah tempat aku tumbuh besar. Kami bertiga berjalan ke pintu dan mengetuknya.
Aku berpikir tentang hal yang terburuk. Iblis dan rantai adalah apa yang ingin aku lihat semenjak aku duduk di bus. Jadi kalian bisa berimajinasi tentang kekagetanku saat orang yang membuka pintu adalah pria tertampan yang pernah aku lihat. Usianya mungkin hampir 30, rambutnya berantakan dan pirang, dengan penampilan kasual.
“Wo w keren. Aku mulai berpikir kapan rumah ini akan kedatangan tamu. Namaku Justin, ayo masuk!”
Justin menjelaskan bahwa rumah ini adalah sebuah ruang tunggu yang sangat besar. Kami akan menunggu disini sampai ada seseorang yang datang untuk menjemput kami. Semuanya pasti dijemput. Tapi dia tidak tahu kapan, namun yang dia tahu pasti bahwa hal itu pasti terjadi.
Rumah ini sangat luar biasa. Semua yang kau inginkan ada disana. Dapurnya selalu terisi makanan dan permen, kamar tidurnya juga terisi dengan semua permainan yang ingin kumainkan tapi tidak pernah bisa sebelumnya, dan ruang tamunya terisi dengan semua film yang bagus-bagus.
Sangat mudah untuk hidup disana. Namun tentunya sangat sulit untuk melihat waktu. Karena hanya ada 1 jam dinding di dalam rumah tersebut dan hanya ada di ruang tamu. Itu adalah jam digital berwarna biru. Aku benci mengakuinya, tapi aku selalu terobsesi dengan jam dinding itu. Seperti aku terhipnotis dengannya. Aku tidak pernah bisa berhenti untuk melihat jam itu.
Kami menghabiskan beberapa hari pertama untuk mengobrol dan mengenal satu sama lain. Kami mengerti siapa kami waktu masih hidup. Tentu saja, aku meninggalkan beberapa aspek hidupku demi kenyamanan semua orang, tapi tidak dengan Justin.
Hari berganti ke minggu, yang mana kami isi dengan film dan permainan yang sudah disediakan, lalu berkompetisi dan mengadakan pesta. Minggu berganti ke bulan. Kami mulai terikat secara emosional. Aku merasa untuk pertama kalinya perduli dengan orang lain dan orang-orang ini adalah orang yang sangat kuperdulikan daripada hidupku sebelumnya.
Anak-anak itu tertawa dan tersenyum dan aku sangat bahagia. Bulan berganti dengan tahun namun semuanya mulai tampak melelahkan kami. Kami tidak pernah menua. Kami tetap sama dengan hari dimana kami meninggal, tapi tanpa tanda-tanda kematian yang “sebenarnya”.
Tapi biarpun begitu, kesehatan kami didapat dari pertengkaran. Aneh memang, Ketidaksepakatan tentang dunia yang kami tahu sebelumnya menjadi bahan pembicaraan kami dengan dibumbui opini yang tidak terlalu penting. Tapi Sejujurnya, aku menikmati itu. Kelihatan seperti kami adalah keluarga yang utuh.
Tahun berubah menjadi dekade dan semangat kami mulai menurun. Depresi menghantam Justin sangat keras. Dia sudah lebih lama daripada kami di rumah itu, dan dia mulai membicarakan mengapa dia belum juga dijemput. Justin mulai Putus asa dan kami tidak bisa melakukan apapun untuk menenangkan dia.
48 tahun berlalu semenjak aku dan anak-anak turun di rumah itu dan ketika Justin membawa kami ke ruang tamu. Dia tidak pernah memberitahu kami apa yang dia rencanakan atau memberikan kami peringatan.
Aku tidak tahu bagaimana rumah mulai terbakar, yang kutahu Justin yang mulai membakarnya. Api menjalar sangat cepat di tembok sampai aku tidak bisa melarikan diri. Api juga membakar lantai dan kaki kami, kemudian aku mendengar teriakan sebelum aku merasakan panasnya api itu.
Aku tidak yakin kapan api itu berhenti. Mungkin karena kami sudah mati, tapi itu tidak membuatnya menjadi lebih mudah. Rasa terbakar pun akhinya berhenti dan berganti dengan dingin yang melumpuhkan. Mungkin kalian berpikir aku beruntung, mungkin itu karena kau belum mendengar teriakan yang lain.
Itu adalah yang terburuk. Aku tidak tahu berapa lama aku disana sebelum aku menyadari jam dinding.
Bagaimana mungkin aku bisa melewatkan itu? Sebuah angka yang muncul dengan warna biru terang melawan nyala api merah itu, terlihat seperti lampu tembak ke wajahku. Aku hanya bisa melihat fokus kesana. Melihat dan menghitung setiap menit aku mendengar keluargaku terbakar.
Menit menjadi jam. Jam menjadi hari. Hari menjadi minggu. Minggu menjadi bulan. Bulan menjadi tahun. Aku pun berhenti menghitung setelah 60 tahun disana. Aku tidak yakin apakah aku sudah gila. Kuberitahukan padamu itu tidaklah mudah. Akupun terbangun dan mulai meminta maaf atas apa yang tidak bisa kulakukan.
Aku diberitahukan bahwa awalnya aku terbangun di rumah sakit sambil berteriak. Suster disana sampai harus memberikanku bius dan membuatku dalam keadaan koma selama beberapa jam kemudian membangunkanku secara perlahan.
Kata mereka, aku beruntung karena tetangga memanggil polisi ketika mereka mendengarkan teriakan di apartemen sebelah. Aku diberitahukan bahwa jika ambulans tidak datang kesana tepat waktu aku tidak akan bisa kembali lagi.
Aku diberitahukan bahwa aku sudah mati selama 6 menit.
Ta.. Tapi 6 menit itu terasa seperti selamanya di dalam neraka.
Baca Juga: Psikolog Sekolah Terbaik di Dunia