Namanya Rangga. Seorang fotografer lepas yang gemar menyusuri tempat-tempat terpencil demi mengabadikan lanskap alam. Bagi Rangga, sepinya hutan atau sunyinya padang ilalang bukanlah ancaman, melainkan sumber inspirasi. Namun, sebuah perjalanan ke hutan tua di Jawa Barat mengubah semuanya.
Sore itu, Rangga kembali ke penginapannya. Saat membuka hasil jepretan, jantungnya terasa seakan berhenti berdetak. Di salah satu foto, tampak sosok samar. Berdiri di balik pohon besar. Tingginya lebih dari dua meter. Berbentuk manusia, tapi sangat kurus. Matanya memantulkan cahaya merah.
Ia memperbesar gambar. Sosok itu tidak sedang melangkah. Tidak bergerak. Menghadap langsung ke arah kamera. Seolah menyadari dirinya sedang dipotret. Tangan panjangnya terkulai, dan kulitnya… abu-abu kusam, menyerupai kayu lapuk.
Rangga mencoba menganggapnya efek kabut, atau pareidolia—kemampuan otak manusia mengenali pola wajah. Namun, saat ia memperlihatkan foto itu pada salah satu warga desa, ekspresi orang tersebut langsung memucat.
“Mas yang motret ini?”
“Iya. Di balik pohon besar.”
“Mas… itu bukan binatang. Bukan juga manusia. Itu ‘Dia’. Penunggu hutan itu. Sudah banyak yang hilang sejak memotret saat kabut turun.”
Rangga mulai merasa gelisah. Ia berniat menghapus fotonya. Namun, setiap kali tombol delete ditekan, sistem kamera mengalami error. Gambar itu tetap muncul. Bahkan, tampaknya semakin jelas. Sosok itu… seakan makin mendekat di setiap tampilannya.
Ia mematikan kamera. Tapi malam itu, di penginapan, ia mulai mendengar suara napas yang mirip seperti di hutan. Berat. Panjang. Seolah berasal dari balik pintu kamar. Saat ia mengintip… tidak ada siapa-siapa. Tapi bayangan di lantai menunjukkan sepasang kaki tinggi, berdiri diam tak bergerak.
Ia tidak bisa tidur semalaman. Ketika pagi datang, ia segera kembali ke Jakarta. Kameranya disimpan dalam tas, tak pernah disentuh. Namun sejak hari itu, tiap malam… ia bermimpi berada di hutan yang sama. Selalu berkabut. Selalu sunyi. Selalu ada suara napas itu.
Beberapa minggu kemudian, ia memutuskan mencetak ulang foto-foto di studio langganannya. Namun, operator studio menolak mencetak satu file.
“Mas, foto ini bukan hasil kamera. Ini… seperti lukisan horor. Mata makhluk ini… ngikutin saya.”
Rangga kebingungan. Ia membuka file aslinya. Kali ini… makhluk itu tampak berubah posisi. Kini setengah tubuhnya terlihat keluar dari balik pohon. Seakan sedang melangkah maju. Ia panik, dan akhirnya membuang kameranya ke sungai.
Tapi gangguan tak berhenti. Setiap malam, terdengar ketukan di jendela. Napas berat di koridor. Dan di malam ke-7, ia terbangun dan mendapati bekas jejak kaki basah di lantai kamar. Panjang. Tidak manusiawi. Namun tidak ada tanda siapa pun yang masuk.
Ia mencoba pembersihan spiritual, pergi ke tempat ibadah, bahkan berkonsultasi dengan psikolog. Namun, hanya satu yang berefek: ketika seorang paranormal berkata,
“Kamu tidak sengaja mengarahkan mata kamera ke sesuatu yang tak ingin dilihat. Dan sekarang… dia juga melihatmu.”
Menurut sang paranormal, kamera adalah alat mata ketiga. Saat diarahkan ke tempat dan waktu yang salah, ia bisa menjadi penghubung. Sosok yang tertangkap tidak menyukai tatapan. Dan kini… dia ingin membalas menatap.
Rangga diminta membakar semua cetakan foto, dan menjalani ritual pelepasan. Namun sebelum proses selesai, foto digital yang telah dihapus itu muncul kembali di laptop, di email, bahkan sempat terunggah otomatis ke akun portofolionya.
Akhirnya, ia menghapus seluruh akunnya. Memutus semua koneksi digital. Tapi sebelum benar-benar menghilang, ia sempat menulis satu kalimat:
“Jika kalian lihat sosok di balik pohon itu, jangan pernah zoom. Biarkan dia tetap kabur.”
Rangga tak terdengar kabarnya lagi. Namun sebagian orang mengaku sempat menyimpan fotonya. Anehnya, di setiap versi, posisi makhluk itu berbeda-beda.
Tapi ada satu hal yang selalu sama:
Tatapannya… selalu mengarah ke siapa pun yang melihat.
– Tamat –