Jangan Sembarangan Membunuh

Namaku riska. Aku akan bercerita mengenai kisah yang sebenarnya masih menjadi trauma terbesarku. Sampai saat ini rasa takutku masih belum hilang. Kejadian itu sudah lama terjadi. Beberapa tahun lalu, tepatnya saat aku masih duduk dibangku Sekolah Menengah Pertama. Dan kejadian ini terjadi di rumah lamaku.

Sudah tiga tahun sejak aku menempati rumah baru yang terletak di bogor itu tidak ada satupun kejadian aneh di rumahku. Padahal posisi rumah yang terpencil jauh dengan tetangga juga gang masuk rumahku yang lebih banyak pohon bambu ketimbang rumah warga membuat ketakutan sendiri ketika harus pulang malam sendirian, apalagi penerangan di jalan itu sangat minim.

Maklum lah saat itu aku sedang pemantapan ujian nasional sehingga harus pulang lebih larut karena ada pemantapan bahan ujian.

Pukul setengah delapan malam akhirnya aku tiba dirumah, dengan nafas memburu karena takut melewati gang gelap itu. Saat aku tiba diteras rumah, aku menemukan seekor ular kecil yang berjalan cepat menuju pintu.

Segeralah aku ambil sapu lalu kupukulah ular itu hingga akhirnya ular itu menggeliat-geliat mungkin itu sedang sakaratul maut, karena tidak tega melihatnya akhirnya aku injak ular kecil itu dan kubuang di samping kolam ikan depan rumahku.

Aku tidak terlalu terkejut dengan yang namanya ular, berada ditengah-tengah kebun bambu membuat ular-ular sering masuk kedalam rumah. Tiga tahun ini hampir lima kali aku menemukan ular merayap di rumahku.

Tidak ada curiga dipikiranku. Tidak kubahas masalah ular itu kepada orang tuaku, karena kami memang sudah tidak asing dengan adanya ular. Ketika selesai aku merapikan piring bekas makan malam. Aku dikejutkan dengan sekelibat banyangan hitam kecil yang melewatiku dengan cepat namun itu terlihat nyata. Ya, meskipun sekilas aku dapat merasakan hawa negatif dari sosok itu.

Bulu kuduku merinding.

Keesokan harinya adalah hari tenangku. Menjelang ujian nasional aku mendapat libur tiga hari  sehingga aku dengan bahagia beristirahat dirumah. Namun ketika aku menyandarkan tubuhku di sofa dengan tiba-tiba muncul sesosok mirip tuyul, botak hitam namun wajahnya hancur.

Ya, mata hidung dan mulutnya berada di tempat yang bukan seharusnya. Dengan darah dan bau amis yang menyengat. Aku terperanjat kaget,  hampir berteriak namun suaraku tidak keluar. Kekagetanku belum sembuh namun sudah dikejutkan lagi dengan sesosok lainya yang muncul dari pintu.

Bentuknya sama dengan yang mukanya hancur itu, namun ini berbadan lebih besar dengan perut yang sangat-sangat buncit. Aku berteriak histeris dan mundur dari posisi dudukku. Kakiku bergetar dan terpaku. Belum pernah aku melihat sosok mengerikan itu.

Pandangan mata sosok itu marah kepadaku dan bahkan kini mereka mendekatiku dan mencoba menyakitiku dengan mencekik dan mencakarku dengan kukunya yang melengkung tajam. Tiba-tiba sebuah tepukan keras di bahuku menyadarkanku. Mamaku memandangku aneh dan khawatir. Ternyata itu hanya mimpi. Aku tertidur di sofa itu.

Mama bilang padaku, bahwa aku berteriak-teriak namun aku susah sekali dibangunkan. Untunglah, meski aku mengalami kejadian yang buruk. Aku bersyukur itu hanya mimpi.

Namun keanehan itu berlanjut. Setelah mengalami mimpi itu aku mengalami demam tinggi. Dan anehnya di lenganku banyak sekali luka cakaran kuku juga di leher dan punggung terdapat luka memar membiru. Mama dan papaku menanyakan apakah aku berkelahi atau mencakari diri sendiri saat tidur. Aku menggeleng. Tidak mungkin aku berkelahi, apalagi menyakiti diri sendiri.

Pertanyaan itu membuat aku teringat kembali dengan mimpi yang buruk itu. Dimimpi itu sosok mengerikan itu memang menyakitiku. Dan lukanya percis sama. Aku akhirnya hanya bisa menangis. Bukan karena luka juga demam yang membuatku menggigil. Aku ketakutan. Kini aku bisa melihat sosok itu tertawa-tawa dibalik punggung kedua orang tuaku.20

Dengan terbata-bata aku menceritakan mimpi buruk itu kepada orang tuaku. Mereka terlihat cemas, namun mereka akhirnya berdiskusi dan papahku pergi untuk mencari orang yang dapat menyembuhkanku.

Aku tidur sendirian malam ini. Adikku Karisma sedang pergi berlibur di bandung untuk beberapa hari bersama bibiku. Beruntung sekali dia. Seharusnya akupun bisa berlibur. Aku harus sembuh, dua hari lagi aku akan ujian. Setelah ujian aku bisa berlibur sebebas-bebasnya.

Indahnya ketika memikirkan liburan panjang itu, namun aku harus kembali memikirkan tentang kecemasanku akan sosok yang menghantui itu. Aku takut tertidur dan akhirnya mimpi buruk lagi.

Sosok-sosok itu tertawa. Di hadapanku ada tiga tuyul yang mengerikan. Satu tuyul hitam kecil , lalu dua tuyul besar mirip semar ditokoh pewayangan. Perutnya sangat besar dan mereka sama-sama berbau busuk. Mereka kembali menyakitiku. Memukulku, mencubit, dan melukaiku dengan benda semacam silet.

Badanku bergetar hebat dan menahan perih. Melihat aku kesakitan itu malah membuat sosok itu mengeluarkan tawa yang mengerikan. Aku hanya bisa berteriak sambil menahan segala rasa sakit. Ketika akhirnya aku bisa bangun dari tidurku karena adiku membangunkan ku.

“Anterin aku ke kamar mandi dong, aku takut”

Dia memang selalu ketakutan seperti itu, namun aku akhirnya mengantarnya ke kamar mandi. Aku juga takut sendirian di kamar.

Aku berjalan di belakangnya dan ketika dia menutup pintu kamar mandi aku bersender di pintunya. Bersyukur adiku membangunkanku dari mimpi buruk itu lagi. Sambil menghembuskan nafas lelah aku melihat jam dinding yang berada di ruang makan. Baru pagi.

Namun mataku masih terpaku dengan jam dinding itu. Ada sesuatu yang ganjil. Aku baru tertidur satu jam setelah aku mencoba menahan rasa kantuku. Dan,,,

Badanku bergetar, aku tidak sanggup melihat siapa yang sebenarnya ada di balik pintu kamar mandi. Aku baru sadar, Adikku baru siang tadi berangkat, tidak mungkin dia sudah kembali.

Ketika pikiranku memerintahkan kakiku untuk pergi menjauh dari pintu kamar mandi. Kakiku malah terpaku dan bergetar hingga aku akhirnya pipis didepan pintu itu. Aku menangis. Namun tawa dibalik pintu itu aku membuatku kembali membayangi sosok itu.

Mama berlari memelukku. Dia tidak memarahiku karena aku pipis sembarangan. Dia makin khawatir ketika melihat lukaku semakin parah. Cakaran yang belum sembuh itu kini dihiasi dengan luka besetan benda tajam.

Ada dimana-mana termasuk di wajahku. Akhirnya mama dan aku sama-sama menangis. Aku tahu, aku membuatnya khawatir. Malam itu akhirnya aku tidur bersama mama, memeluknya hingga pagi.

Keesokan harinya, papahku datang dan membawa seorang yang berpakaian serba putih. Ketika melihatku, lelaki itu melotot dan memandangiku cukup lama. Aku sangat tidak nyaman dengan sorot matanya yang mencoba membaca apa yang terjadi padaku.

Namun tak lama ia menarik bibirnya dan tersenyum lalu mengamati lukaku.

“Apakah beberapa hari kebelakangan ini kamu membunuh seekor ular hitam?” Tanya lelaki itu.

Aku mencoba mengingat-ingat. Ya, pulang sekolah terakhir itu aku memang membunuh sebuah ular kecil. Namun sosok yang kuhadapi ini bukan ular.

Aku mengangguk pelan. Kedua orang tuaku menatapku masih dalam pandangan cemas dan terus memegangiku.

Lelaki itu mengangguk.

“Sosok hitam itu adalah jelmaan dari ular yang kau bunuh itu. Aku merasakan hawa panas disini. Itu menandakan bahwa sosok itu menaruh dendam padamu” jelasnya.

Aku hanya membunuh satu namun kenapa sosok itu menjadi seperti keluarga yang mengeroyokiku.

“Dan ada bapak ibunya yang ikut dendam karena anaknya kau bunuh” lanjut lelaki itu.

Benar saja! Anak setan itu membawa keluarganya kesini untuk membalas dendam.

“Itukan hanya binatang. Itu hanya ular, akupun harus membunuhnya. Jangan sampai mereka masuk kedalam rumahku lagi” ucapku membela diri.

“Jangan sembarangan membunuh ular disini, saat aku melihat ke sekitar rumah ini juga halamanya. Aku bisa melihat ada sebuah kerajaan megah disini. Mungkin ular-ular yang banyak disini adalah jelmaan dari dedemit kerajaan”

Kedua orangtuaku melohok melihat penjelasan lelaki itu.

“Ada baiknya menjauhi daerah ini. Saya menyarankan untuk pindah. Karena saya cemas ini bukan yang terakhir serangan ular itu. Mereka kuat karena bisa menyakiti manusia seperti ini”

Setelah lelaki itu pergi, lelaki itu meninggalkan sekantung garam yang harus disebar disekitar rumah. Terutama kamarku.

Setelah itu, ajaib. Sosok itu menghilang dan tidak pernah muncul lagi bahkan dimimpi.

Namun karena kami tidak ingin menebar garam itu terlalu lama, akhirnya kami memutuskan untuk pindah rumah demi kenyamanan.