Sebuah Kisah Nyata
“Niat Merantau Mau Kerja, Malah Setor Nyawa”
Dulu, menurut warga setempat, rumah itu pernah menjadi saksi tragedi pembunuhan keji. Beberapa orang, yang didalangi oleh adik kandung pemilik rumah, bersekongkol menghabisi nyawa sang pemilik. Tepat tengah malam, ia disembelih di dalam kamar. Namun sebelum menghembuskan napas terakhir, ia sempat mengucapkan sumpahโฆ
Mereka tega menghabisinya karena sudah tidak tahan lagi dengan kelakuan buruk dan kejahatan yang dilakukan oleh sang pemilik rumah terhadap warga sekitar, bahkan keluarganya sendiri.
Karena sang pemilik dikenal memiliki banyak ilmu gaib, maka pembunuhan itu pun melibatkan banyak orang. Waktu eksekusi dipilih dengan matang, mengikuti anjuran orang-orang yang paham tentang ilmu kebatinan: di malam kelahirannya โ malam yang menjadi malam kematiannya.
Sumpah itu benar-benar terbukti. Pasangan suami istri pertama yang menempati rumah tersebut ditemukan tewas gantung diri di kamar. Setahun kemudian, seorang pemuda perantau yang juga bekerja di sekitar situ ditemukan tewas dengan cara yang sama.
Cerita ini berasal dari kiriman seseorang, tentang dua pemuda yang mengalami tragedi saat merantau untuk mencari kerja. Mereka bekerja sebagai tukang di sebuah perkebunan karet.
Setelah perjalanan laut selama tiga jam, akhirnya mereka sampai di kota tujuan. Karena lokasi proyeknya cukup jauh di pedalaman, mereka harus berganti-ganti kendaraan umum hingga akhirnya tiba di rumah Pak Anam โ pria yang ditugaskan mengantar mereka ke lokasi kerja.
Setelah 20 menit menumpang bak pick-up Pak Anam, mereka tiba di rumah yang akan menjadi tempat tinggal sementara.
Sebut saja namanya Aris. Begitu tiba di depan rumah, Aris langsung merasa ada yang aneh. Pak Anam tampak gelisah, seolah ingin buru-buru pergi.
Setelah Pak Anam pamit, Aris dan temannya, Arman, segera masuk ke dalam rumah. Mereka beres-beres dan mandi. Di rumah itu tersedia dua kamar kosong. Arman sempat bertanya apakah mereka mau tidur terpisah atau sekamar saja. Aris memilih untuk sekamar supaya tidak repot bersih-bersih.
Saat memasuki kamar, Aris langsung merasakan hawa yang tidak nyaman. Tapi ia mencoba menepis perasaan buruk itu, khawatir malah akan benar-benar terjadi hal yang aneh.
Keesokan paginya, saat hendak mencari sarapan, datanglah seseorang membawa bahan makanan. Anehnya, bukan Pak Anam yang datang, melainkan orang lain. Ketika mereka bertanya tentang keberadaan Pak Anam, si bapak itu terlihat ketakutan sambil melirik ke arah rumah, lalu buru-buru pergi.
Kejadian itu membuat Aris curiga. Ia pun mengungkapkan kegelisahannya pada Arman. Namun Arman yang tidak percaya pada hal-hal mistis hanya menyuruh Aris untuk tidak berpikiran aneh-aneh.
Sore harinya, saat berkunjung ke rumah Pak Anam membahas pekerjaan, Aris mencoba bertanya tentang rumah itu. Tapi Pak Anam jelas menghindar, bahkan menyuruh mereka segera pulang karena hari sudah gelap.
Dalam perjalanan pulang, mereka bertemu dengan seorang bapak-bapak yang baru pertama kali melihat mereka. Setelah tahu mereka tinggal di rumah itu, bapak itu tampak terkejut dan menyarankan mereka untuk segera pindah. Namun karena mereka hanya perantau dan tidak punya pilihan lain, Aris dan Arman pun tetap tinggal di sana.
Saat kembali ke rumah, Aris kembali merasakan hawa aneh. Ia bahkan sempat melihat bayangan seseorang duduk di kursi ruang tamu. Tapi saat lampu dinyalakan, bayangan itu menghilang begitu saja.
Malam itu, setelah sedikit mengobrol sambil merokok, Arman memutuskan tidur duluan. Takut sendirian di ruang tamu, Aris pun ikut masuk kamar. Saat mematikan lampu, Aris kembali melihat sosok bayangan duduk menghadap pintu, membuatnya ketakutan dan buru-buru bersembunyi di kamar.
Ketika tertidur, Aris tiba-tiba terbangun mendengar suara dengkuran berat di sebelahnya. Saat menoleh, itu hanyalah Arman yang tertidur. Namun, suara dengkuran itu mendadak hilang, digantikan oleh aroma darah yang menyengat. Takut terjadi sesuatu, Aris langsung menutupi dirinya dengan selimut.
Pagi harinya, Aris berharap kesibukan di kebun bisa mengalihkan pikirannya. Tapi saat jam istirahat, seorang pria tua di kantin memperingatkan mereka agar pindah rumah. Ia bahkan mengaku kasihan dengan mereka, meski tidak menjelaskan alasannya.
Itu sudah menjadi peringatan ketiga yang Aris dengar. Ia pun mendesak Arman untuk pindah, tapi Arman tetap keras kepala.
Sore harinya, setelah pulang kerja, Arman mandi di kamar mandi luar. Aris menunggu di luar, karena takut sendirian di rumah. Saat itu, tiba-tiba Aris mencium bau amis darah. Ia terkejut, dan saat matanya menyapu sekitar, ia melihat sosok pria bertato, berambut gondrong, tanpa baju, berdiri di bawah pohon kelapa, menatapnya marah.
Tubuh Aris mendadak kaku. Ia baru tersadar setelah Arman menghampirinya, namun saat Arman melihat ke arah pohon, ia tak melihat apa pun. Sosok itu tetap menatap Aris tajam, lalu menghilang.
Saat makan malam, Aris kembali menyarankan pindah rumah, tapi Arman tetap menolak.
Selesai makan, Aris membereskan piring di dapur. Tiba-tiba terdengar suara benda jatuh dari arah kamar, disusul teriakan Arman. Aris segera berlari menuju kamar.
Ia menemukan Arman duduk di lantai dengan wajah pucat, tubuh gemetar, menatap kosong ke arah barang-barang yang berantakan. Tapi yang lebih menakutkan, ada sosok pria bertato berdiri di samping lemari, sosok yang sama yang dilihat Aris sebelumnya.
Sosok itu berkata,
“Kalian sudah berani tidur di ranjangku!”
Ia menatap Arman dengan penuh kebencian, menuduhnya telah menghina.
Tanpa peringatan, sosok itu menghampiri Arman dan membenturkan kepalanya ke sudut dipan kayu, hingga darah mengucur deras. Aris hanya bisa terpaku ketakutan, sampai akhirnya keduanya pingsan.

Saat Aris sadar, ruangan sudah penuh orang. Ia merasa lega melihat Pak Wasis, pria tua yang ia kenal di kebun, duduk di sebelahnya. Setelah tenang, Aris menceritakan semua kejadian dengan berlinang air mata. Ia pun bertanya, di mana Arman.
Pak Wasis menjawab, Arman masih belum sadar.
Pak Wasis kemudian menceritakan tentang sejarah kelam rumah itu. Dahulu, pemilik rumah bernama Hendarto dibunuh oleh warga karena perbuatan kejinya. Karena Hendarto memiliki banyak ilmu, pembunuhan itu direncanakan lama, dan dilakukan tepat di malam kelahirannya. Ia disembelih tepat jam 12 malam di kamar tersebut.
Sebelum meninggal, Hendarto bersumpah akan mencari korban-korban baru yang berani menumpahkan darahnya di rumah itu.
Sumpah itu terbukti. Sepasang suami istri yang menempati rumah itu pertama kali ditemukan gantung diri. Setahun kemudian, seorang pemuda yang bekerja di kebun juga mengalami nasib serupa.
Sejak hari itu, Aris tidak pernah berani mendekati rumah itu lagi. Arman yang akhirnya sadar terlihat linglung, sering menangis, berteriak tanpa sebab, bahkan kadang membenturkan kepalanya sendiri.
Pak Anam, yang telah menempatkan mereka di rumah itu, menjadi sasaran amarah warga.
Sayangnya, kondisi Arman tidak pernah membaik, meski berbagai cara sudah ditempuh keluarganya.
Dan tepat 40 hari setelah kejadian, pada tengah malam, Arman menghembuskan napas terakhirnya.
Banyak yang percaya, arwah Arman telah diambil oleh Hendarto.
Namun Aris percaya, sahabatnya kini telah mendapat tempat terbaik di sisi-Nya.
Selesai.
Semoga dari kisah ini, kita belajar untuk selalu berhati-hati dan tidak meremehkan firasat, karena ada dunia lain yang tak kasat mata yang juga mengelilingi kita.