Tahun 2016, seorang pendaki bernama Tobyadam dan enam temannya mengalami kejadian mistis saat mendaki Gunung Arjuno.
Aku, Tobyadam (bukan nama asli), bekerja sebagai disk jockey di salah satu kota di Kalimantan. Sejak dulu, aku memang hobi naik gunung, meski karena kesibukan kerja, pendakian jadi terbatas. Namun, pertengahan 2016, aku dan enam temanku—Dimas, Ardi, Eko, Wawan, Dina, dan Kiki (bukan nama asli)—memutuskan untuk mendaki puncak Arjuno, salah satu gunung di Jawa Timur.
Kami berangkat sore dari Kalimantan menuju kota terdekat Gunung Arjuno, menginap semalam di hotel, dan berencana berangkat subuh dengan travel. Pagi itu, tak ada kejadian aneh. Sekitar pukul 08.00, kami tiba di desa di kaki gunung. Alih-alih memilih jalur biasa, kami memilih jalur yang jarang dilewati pendaki. Kami langsung menemui kepala desa untuk meminta izin melewati jalur tersebut.
Namun, kepala desa melarang kami. “Banyak tempat bertapa di jalur itu. Ini bukan jalur untuk pendaki biasa,” katanya. Tapi, karena jalur utama terlalu panjang, kami bersikeras dan akhirnya diizinkan, dengan syarat: menjaga sikap dan, yang paling penting, tidak boleh bermalam di Pos 4. Kepala desa tidak menjelaskan alasannya, hanya menegaskan larangannya. Kami pun setuju.
Jalur ini memang tak banyak diketahui orang. Untuk mencapainya, kami harus masuk ke desa terpencil. Perjalanan dimulai pukul 13.00, dengan suasana sejuk khas hutan pinus. Namun, semakin jauh kami melangkah, semakin banyak teras bertapa yang membuat suasana sedikit merinding. Magrib tiba saat kami baru melewati Pos 3.
Pendakian ini memiliki tujuh pos, dan perjalanan masih panjang. Anak-anak perempuan mulai kelelahan. “Kenapa nggak ngecamp di Pos 4 aja? Udah deket,” usulku.
“Jangan macam-macam! Ini hutan, bukan rumahmu,” tegur Eko.
“Udahlah, siapa juga yang bakal tahu kalau kita ngecamp di sini? Besok subuh kita langsung beresin,” jawabku.
Karena lelah, mereka akhirnya setuju. Kami tiba di Pos 4 sekitar pukul 20.00. Ada papan kayu bertuliskan angka 4, tertutup tanaman menjalar. Posnya berbentuk seperti pos ronda, dan di belakangnya ada lapangan luas yang tampak bersih.
“Tempatnya luas begini, masa nggak boleh ngecamp?” gumamku.
Kami mulai mendirikan tenda, membuat api unggun, dan berbagi tugas. Sekitar pukul 21.00, tiba-tiba seorang pria paruh baya muncul dari jalan setapak. Berjenggot putih, berbaju batik, bercelana hitam gantung, dan membawa parang.
Dengan nada tinggi dan berbahasa Jawa, dia memperingatkan, “Wes tak kandani, ojo nginep neng kene! Iso pindah ra?!” (Sudah dikasih tahu, jangan bermalam di sini! Bisa pindah atau tidak?!)
Kami terdiam, saling tatap, lalu mulai membereskan barang-barang untuk naik ke Pos 5. Pria itu, yang kusebut Simbah, berdiri memperhatikan kami. Saat teman-temanku sudah lebih dulu naik, aku memastikan api unggun benar-benar padam. Ketika aku melewatinya, tercium wangi melati.
“Mari, Mbah. Maaf atas kesalahan kami,” ucapku.
Simbah hanya mengangguk. Aku terus berjalan. Tapi, ketika menoleh, dia sudah menghilang.
Aku berusaha menyusul teman-temanku, tapi ada yang aneh. Suara malam yang biasanya dipenuhi serangga kini senyap total. Seperti ada yang mengawasi. Aku berjalan selama satu jam, tapi tak kunjung menyusul mereka. Rasanya seperti berjalan di tempat yang sama.
Untuk memastikan, aku menancapkan kayu besar di pinggir jalan sebagai tanda. Aku terus berjalan, tapi beberapa menit kemudian, aku melihat kayu yang kutancapkan tadi.
Aku kembali ke tempat yang sama!
Aku mulai panik. Aku coba turun, ke kanan, ke kiri, masuk ke hutan, tapi tetap kembali ke tempat yang sama. Aku yakin aku disembunyikan.
Dari arah bawah gunung, kulihat sekelompok orang berpakaian kerajaan membawa tombak dan obor. Mereka melintas di sampingku. Aku memanggil mereka, tapi tak ada jawaban. Mereka berhenti, menoleh, lalu berjalan lagi.
“Apa aku sudah mati? Siapa mereka? Kenapa mereka masih berpakaian seperti itu?”
Aku hanya bisa berdoa. Aku tertidur di jalan setapak itu, dan tiba-tiba terbangun di tengah pasar malam. Semua orang berpakaian seperti masyarakat zaman dulu, wajah mereka pucat tanpa ekspresi. Aku kebingungan.
Tiba-tiba, aku terdorong hingga jatuh.
“Bruuuuk!” “Aduh! Siapa sih yang dorong?”
Saat aku bangkit, pasar yang ramai tadi berubah menjadi kosong. Hanya aku seorang diri.
Suara wanita tertawa lirih terdengar di sekelilingku, makin lama makin ramai, melengking, mengerikan. Aku lari tanpa tujuan. Di tengah hutan, aku melihat pondok kecil. Berharap aman, aku masuk.
Tiba-tiba, “KOE RAISO MULIH” (Kamu tidak bisa pulang).
Dinding pondok terdorong keras, seakan banyak makhluk berusaha menerobos masuk sambil tertawa cekikikan. Aku lari keluar, tapi bodohnya, aku menoleh ke belakang. Di samping pondok itu, makhluk-makhluk mengerikan—perpaduan manusia dan binatang—menatapku.

Aku berlari sekuat tenaga, kembali ke jalan setapak tempat tanda kayu tadi. Aku terduduk, menangis putus asa. Simbah muncul. Tapi kali ini, tubuhnya bukan manusia, melainkan ular raksasa.
Dia melilit tubuhku, napasku terhenti. Aku pasrah. Aku kehilangan kesadaran.
Saat aku membuka mata, seorang nenek tua berdiri di hadapanku.
“Nek dikandani wong tuwo, manut. Panggonmu ngedekne kemah kui pasar gaib!” (Kalau dikasih tahu orang tua, nurut. Tempat kalian ngecamp itu pasar gaib!)
“Simbah liat kau mirip cucuku. Aku bantu kau keluar dari sini, tapi ingat: ini bukan duniamu. Jaga lisan dan sikapmu!”
“Lungo goleko sumber banyu, wudhu, njuk turuo.” (Pergilah cari air, wudhu, lalu tidur.)
Aku mengangguk. Saat menoleh, nenek itu sudah menghilang. Tiba-tiba aku mendengar suara air mengalir. Aku berwudhu, lalu tertidur di jalan setapak.
Saat terbangun, aku dikelilingi teman-teman dan warga desa. Sudah tiga hari mereka mencariku!
Malam yang terasa singkat bagiku, ternyata berlangsung tiga hari di dunia nyata. Mereka naik turun gunung tanpa melihatku, hingga akhirnya sore ini baru menemukan aku tidur di pinggir jalan setapak.
Aku selamat.
Buat kalian yang suka mendaki, hormatilah alam, jaga lisan, dan jangan melanggar larangan! Kita hidup berdampingan dengan dunia lain.
Terima kasih untuk Tobyadam yang berbagi cerita ini. Jika ingin membaca lebih banyak kisah horor lainnya, bookmark situs ini!