Pemakaman Tanpa Tangisan

Hari nampak mendung menyelimuti sebuah desa kecil di pinggir kota di jawa tengah. Di sebuah rumah tua sedang berkabung sebuah keluarga. Namun tak terdengar isak tangis maupun ratapan terhadap jenazah yang saat ini sudah terbaring di ranjang.

Jenazah yang sedang menunggu untuk di sucikan dan di semayamkan. Entah apa yang dirasakan anak cucunya hingga memandang jenazah Kakek Narto dengan tatapan nanar. Kakek Narto yang hanya memiliki dua anak itu meregang nyawa di usia yang cukup tua.

Meninggalkan seorang istri yang sudah renta, dua orang anak dan empat orang cucu. Berkabung, namun tampak linglung. Di sebelah jazad Kakek Narto duduk dengan bingung bintang, cucu Kakek Narto yang paling kecil. Saat ini usianya sudah menginjak empat belas tahun.

Ia duduk merenung, sebelum akhirnya ibunya yang bernama Kinanti datang memeluknya dan mengajaknya kebelakang untuk menemani Nek Sumi. Nenek Sumi yang ada di kamar belakang pun tak histeris seperti istri lain jika ditinggal mati oleh suaminya.

Image

Ia lebih terlihat seperti orang yang masih memproses apa yang sedang terjadi di sekitarnya. Karena Bintang penasaran dengan atmosfer yang ada di rumah itu, ia bertanya kepada ibunya mengapa tidak ada yang menangis di kematian kakeknya.

Seperti pada umumnya jika ada sanak saudara yang meninggal, maka rumah pasti akan di penuhi dengan tangisan. Namun tidak dengan rumah kakek Narto. Sementara itu di ruang depan tampak seorang pria yang berkisar berusia lima puluh tahun masuk ke rumah.

Di ikuti seorang perempuan dan dua orang anak. Rupanya itu paman Bintang, Pakde Winarto yang datang bersama istri dan anaknya. Ia datang, membawa sebuah kotak kayu jati yang kemudian di letakkan di lemari kamar belakang. Sedangkan istrinya dan dua anaknya sedang duduk di ruang depan. Sebuah pemandangan yang cukup aneh. Pemakaman hari itu berjalan dengan lancar. Kakek Narto dimakamkan di pemakaman desa setempat. Setelah pemakaman semua orang langsung pulang. Setibanya di rumah Kakek Narto, Bintang melayangkan pertanyaannya kepada ibunya.

Ia masih kekeuh bertanya mengapa tidak ada kesedihan atau bahkan raut wajah sedih di semua anggota keluarga. Karena ibu Kinanti tak sanggup menjelaskan sendirian. Maka dikumpulkan lah semua anggota keluarga yang ada, termasuk Nek Sumi.

Dengan wajah yang sedikit lesu Nek Sumi bercerita, jika Kakek Narto melakukan pesugihan selama hidupnya. Pesugihan itu merenggut sepuluh nyawa anaknya. Karena dendam yang terlalu dalam, Nek Sumi berencana untuk menggagalkan pesugihan itu apapun caranya.

Kala itu mungkin empat puluh tahun yang lalu ketika Nek Sumi berusia dua puluhan, dimulailah pesugihan Kakek Narto. Kakek Narto mencari pesugihan tidak sendirian, ia selalu mengajak seorang temannya yang bernama Madi. Dua sobat licik pada jamannya.

Pada saat itu Nek Sumi menolak keras agar Kakek Narto tidak melakukan pesugihan, karena ia tahu jika apapun yang disembah ketika mengikuti pesugihan pasti serakah. Awalnya mahluk itu hanya meminta ayam cemani sebagai tumbal. Lalu ketika anak pertama Kakek Narto dan Nek Sumi lahir

seminggu kemudian ia diambil. Di kelahiran selanjutnya ketika yang dilahirkan adalah anak laki-laki yang sangat dicintai Kakek Narto, anak itupun diambil.

Kakek Narto memang menjadi kaya, semua usahanya berjalan dengan lancar. Menggarap lahan pertanian, menjadi pengepul cengkih dan berdagang. Rasanya hidup memang bergelimang materi, namun sang mahluk itu terus saja meminta tumbal. Di hampir semua kelahiran anak Kakek Narto dan Nek Sumi, rata-rata usia anaknya tak mencapai umur sepuluh tahun hingga akhirnya diminta sebagai tumbal. Sepuluh anaknya menjadi tumbal yang sia-sia. Belum selesai Nek Sumi bercerita, Bintang menyela dengan bertanya mengapa ibu dan pakde nya tidak menjadi tumbal. Kan mereka juga anaknya kakek. Nek Sumi bercerita,

Image

jika ibu Bintang dan Pakde Winarto bukanlah anak Kakek Narto. Melainkan anak orang lain. Selain itu, Budhe Bintang yang merupakan istri Pakde Winarto adalah anak Pak Madi. Ia sengaja dinikahkan dengan Pakde Winarto agar kelak bisa meneruskan pesugihan sesat pak Narto.