PEREMPUAN KAMAR SEBELAH

“Sepersekian detik lampu menyala membuat aku bisa melihat apa yg ada didepanku, “dia” perempuan berbaju merah dengan posisi merangkak ke arahku dengan muka tertutup rambut lusuhnya”

Aku Tobyadam. Mungkin beberapa dari kalian sudah pernah membaca ceritaku tentang Gunung Arjuno. Kali ini, aku ingin membagikan pengalaman paling menyeramkan dan terakhir yang pernah kualami. Semua nama dan tempat sengaja kusemarakkan demi menjaga privasi.

Tahun 2018 awal, aku masih bekerja sebagai DJ dan mendapat kontrak dua bulan di salah satu klub di daerah Kalimantan Selatan. Setelah tiba di kota tersebut, aku langsung ke kantor untuk menandatangani kontrak dan mengurus beberapa hal lain.

Sebenarnya, aku diberi fasilitas mess, tetapi sejak dulu aku tak pernah suka tinggal di sana—terlalu banyak aturan. Aku pun mencari kosan melalui Google dan bertanya pada teman-teman, hingga akhirnya menemukan sebuah tempat yang terlihat nyaman. Bentuknya leter L, memiliki tiga lantai, dan lokasinya tidak terlalu jauh dari tempat kerjaku.

Setelah mengecek langsung, aku bertemu dengan Pak Amir, penjaga kos, dan segera menyetujui untuk menyewa kamar di lantai dua, paling ujung. Aku mulai membawa barang-barangku dengan bantuan Pak Amir. Tidak ada hal aneh—kosan itu terasa nyaman.

Siang itu, aku memesan makanan dan beristirahat karena kelelahan. Namun, aku terbangun tiba-tiba karena mendengar suara piring pecah dari kamar sebelah. Aku tak berpikir macam-macam, hanya sadar bahwa waktu sudah magrib. Aku pun segera mandi dan makan sore.

Saat keluar kamar, tanpa sadar aku berhenti di depan pintu kamar sebelah. Entah kenapa, rasa penasaran menyelimuti diriku. Aku menempelkan telinga ke pintu dan samar-samar mendengar suara televisi serta suara perempuan yang sesenggukan. Seketika aku merinding.

“Udahlah,” gumamku, lalu melanjutkan langkah.

Di kos ini, rata-rata penghuninya adalah pekerja dunia malam. Maka, menjelang subuh suasana cukup ramai. Aku pulang sekitar pukul lima pagi dalam kondisi sedikit mabuk. Begitu sampai di kamar, aku langsung merebahkan tubuh ke kasur dan tertidur.

Belum lama, aku terbangun dengan perasaan gerah. AC sudah diatur pada suhu terendah, tetapi tetap terasa panas. Di saat bersamaan, samar-samar terdengar suara perempuan menangis dari kamar sebelah. Aku masih berpikir positif.

“Mungkin baru pulang kerja, mabuk, terus jadi cengeng,” pikirku.

Karena gerah, aku membuka baju dan kembali tertidur.

Siang harinya, aku bangun dengan kondisi lebih segar. Malam itu aku libur, jadi bisa bersantai. Seperti biasa, aku memesan makanan. Saat abang ojek tiba, ia sempat berkomentar sambil bercanda.

“Cantik bener, Bro, yang di kamar sebelah. Kayak artis.”

Aku sedikit terkejut. “Serius, Pak? Saya baru di sini, belum pernah lihat, cuma pernah dengar suara doang.”

“Iya, putih banget, malah pucat. Tadi sekilas saya lihat dari jendela, dia lagi duduk di depan cermin,” katanya.

Aku tak terlalu memikirkan ucapannya. Tapi setelah makan, rasa penasaran mulai tumbuh.

“Masa sih? Cantik banget katanya,” batinku.

A beautiful yet eerie woman standing in a haunted dormitory room. She has long, flowing black hair, pale skin, and piercing glowing eyes. She wears a tattered white dress that appears slightly translucent. The dimly lit room has old, peeling wallpaper, flickering lights, and a mysterious shadow in the corner. The atmosphere is chilling, with mist creeping along the floor.
Ilustrasi kecantikannya yang di lihat bapak ojekan

Aku pun memberanikan diri untuk mengetuk pintu kamar sebelah. Lama aku mengetuk, tetapi tak ada jawaban. Suara TV tetap terdengar dari dalam. Tiba-tiba—BRAAAK!—sesuatu dilemparkan ke pintu dari dalam kamar.

Aku terkejut. Ingin berkenalan, malah seperti ini. Akhirnya aku kembali ke kamar sambil menggerutu.

Saat berbaring santai, entah kenapa aku tertidur lagi. Seperti sebelumnya, aku terbangun dalam keadaan gerah luar biasa. Tiba-tiba terdengar suara benda dibanting dari kamar sebelah, lalu suara “duk… duk… duk…” seperti kepala seseorang dibenturkan ke dinding, disusul suara tangisan lirih yang berubah menjadi tawa melengking.

Aku hanya bisa duduk diam di samping kasur, tepat di depan sumber suara. Aku ingin lari, tetapi tubuhku terasa kaku. Beberapa menit kemudian, suara tangisan berubah menjadi hening. Lalu, terdengar suara lirih dari kamar sebelah.

“Tolong, Kak. Kakak kenapa diam saja? Tolong aku, Kak.”

Jantungku berdegup kencang. Aku terkejut luar biasa.

Tiba-tiba, lampu kamar padam. Aku bergegas menuju pintu, tetapi kunci menghilang. Dalam kegelapan, aku meraba-raba dinding mencari saklar. Saat itu juga, aku mendengar suara dari kamar mandi—suara perempuan yang sama dari kamar sebelah.

Aku merasakan sesuatu mendekat, dan hidungku bersentuhan dengan hidungnya. Yang kulihat hanyalah sepasang mata merah menyala dan bau busuk yang menusuk. Setelah itu, semuanya menjadi gelap.

Aku terbangun di lantai, membelakangi pintu. Lampu masih mati. Lagi-lagi, suara tawa perempuan itu terdengar, semakin mendekat. Aku menutup mata, mengintip sedikit, dan melihat bagian bawah tubuhnya—berbaju putih lusuh, kakinya melayang.

Suara ketukan keras di pintu menyadarkanku. “Duk… duk… duk…!”

Dengan tangan gemetar, aku membuka pintu. Herdy dan Asep berdiri di sana.

“Syukurlah,” batinku.

Mereka hanya mengembalikan flashdisk yang mereka pinjam. Namun, sebelum pergi, mereka juga menyebut tentang perempuan cantik di kamar sebelah—sama seperti yang dikatakan abang ojek siang tadi.

Aku hanya diam, tak bisa merespons.

Saat mereka pergi, aku terduduk lemas. Sepersekian detik kemudian, lampu menyala. Tepat di depanku, sosok perempuan berbaju merah merangkak ke arahku dengan rambut menutupi wajahnya. Lampu kembali padam, dan suara tawanya semakin dekat.

Aku tahu apa yang kuhadapi, tetapi tak bisa bergerak. Suara itu mendadak hilang, lalu dalam sekejap, ia berada tepat di depanku dan menyeretku ke arah kamar mandi. Setelah itu, aku kembali pingsan.

Aku terbangun keesokan harinya dengan luka cakar di kaki kanan dan demam tinggi. Tanpa berpikir panjang, aku memutuskan pindah kos. Pak Amir membantuku berkemas.

“Kenapa pindah, Mas?” tanyanya.

Aku hanya tersenyum. “Saya pikir-pikir, jaraknya lumayan jauh dari tempat kerja.”

Saat semua barang dimasukkan ke dalam mobil, Pak Amir menepuk bahuku.

“Maaf, Mas. Saya tahu apa yang terjadi. Tapi saya tidak bisa menceritakannya. Ini kesepakatan saya dengan pemilik kos.”

Jantungku hampir berhenti mendengar ucapannya. Ternyata, ada sesuatu yang dirahasiakan di tempat ini. Aku tak mau tahu lebih lanjut.

Dari dalam mobil, aku melirik ke lantai dua. Perempuan itu ada di sana, tersenyum mengerikan sambil melambaikan tangan.

—TAMAT—

Menurut cerita yang beredar, anak pemilik kos itu cacat dan disekap karena keluarganya malu. Hingga akhirnya, ia meninggal di kamar itu. Namun, kebenarannya masih simpang siur.

Jika kamu suka cerita ini, jangan lupa follow terus page ini. Sampai jumpa di kisah horor selanjutnya.