Creepypasta ini berasal dari Jepang dan menceritakan tentang dua anak yang kabur dari rumah lalu bermalam di sebuah pondok tua. Di sana mereka mengalami sebuah pengalaman mengerikan yang tak terlupakan.
Saat cerita ini terjadi, aku masih kelas 5. Saat itu aku dan sahabatku, Takashi. sangatlah nakal dan kami sering terlibat masalah karena kenakalan kami sendiri.
Suatu hari di pertengahan musim panas, Takashi benar-benar membuat marah orang tuanya hingga mereka bertengkar hebat. Takashi dengan kepala panas memutuskan untuk kabur dari rumah, dan tentu saja ia mengajakku.
Aku yang sangat mendambakan petualangan tak dapat menolak tawaran yang menggoda tersebut. Kami langsung membereskan tas sekolah kami dengan barang-barang yang dibutuhkan anak kelas 5 untuk kabur dari rumah; Jus, Snack dan Komik.
Kami masih sempat makan malam di rumah masing-masing, sekitar jam 8 malam kami menyelinap pergi dan bertemu di taman.
“Apa yang akan kita lakukan sekarang?” Kami berdiskusi dan ternyata tak ada banyak hal yang bisa kami lakukan. Kami akhirnya memutuskan bersembunyi di pondok kecil di tengah ladang.
Oh iya, kami tinggal di sebuah pedesaan di wilayah Nagano dan begitu kau meninggalkan desa kecil kami, maka kau hanya akan dikelilingi oleh ladang dan sawah yang seakan tiada habisnya.
Di tiap ladang, biasanya terdapat sebuah pondok kecil dimana para petani akan menyimpan semua peralatannya. Kami mengetahui sebuah pondok yang tampaknya terbengkalai dan tak terlalu diperhatikan orang. Akhirnya kami memilih tempat itu untuk dijadikan “base camp” kami.
Kami masuk ke pondok tersebut dan melihat-lihat “harta karun” apakah yang tersimpan di sana. Ada sebuah traktor manual dan tumpukan jerami yang nampaknya sempurna untuk dijadikan ranjang kami malam ini.
Kami menyalakan lampu senter kami sambil menikmati snack yang kami bawa dan sesekali bertukar manga yang kami baca. Kami merasakan puas, akhirnya kami berhasil mencicipi seperti apa kebebasan itu.
Berapa lama kami di dalam, entah aku tidak begitu yakin. Namun suatu saat di tengah malam, kami mendengar suara yang aneh, asalnya dari luar. Takashi dan aku hampir melompat karena terkejut dan segera mematikan lampu senter kami.
Apakah itu salah satu dari orang tua kami? Ataukah itu pemilik pondok ini? Kamu bersembunyi di balik tumpukan jerami dan memelankan suara napas kami agar tak ada yang mendengar keberadaan kami.
“Sreeek … sreeeek ….”
Kami mendengar suara yang aneh. Suara itu kedengarannya seperti sesuatu yang diseret di atas jalan berkerikil.
“Sreeeeek … sreeeeek …” Apapun itu, ia sedang berjalan mengelilingi pondok.
“Apa itu?” aku berbisik dengan suara sekecil mungkin.
“Apa kita harus mengeceknya keluar?” tanya Takashi, yang entah bagaimana, lebih pemberani ketimbang aku saat itu. Ia perlahan bangkit dan mengendap-endap mendekat ke jendela. Aku yang berada di belakangnya melihat Takashi melompat ketakutan saat ia melongok dari jendela. Aku ikut melihat keluar karena penasaran.
Ada seorang wanita tua di luar.
Punggung wanita itu bungkuk dan ia sangatlah kurus, sehingga nampak seperti tulang yang terbungkus oleh kulit saja. Rambutnya yang putih sangatlah panjang dan tampak berantakan.
“Si … siapa dia?” bisik Takashi dengan suara pelan. Namun aku sama seperti dia, tak tahu menahu siapakah wanita itu.
Perempuan tua itu menyeret sebuah karung goni. Karung itu tertutup oleh sebuah tali yang mengikat bagian atasnya. Ternyata karung itulah yang menyebabkan suara yang tadi kami dengar.
“Sial! Apa dia nenek sihir dari gunung yang anak-anak takutkan selama ini”
Kami gemetar dan perlahan mundur dari jendela. Kami hampir sampai di tumpukan jerami itu ketika tanpa sengaja Takashi menginjak sebuah sekop. Suara dentingan logam yang mengenai tanah berbatu langsung bergema di penjuru pondok, jauh lebih keras daripada yang kami bayangkan.
Aku melongok ke arah jendela dan melihat wanita tua itu berlari dengan sangat cepat ke arah pondok kami. Aku langsung menarik Takashi untuk bersembunyi di dalam jerami.
“BANG!”
Pintu pondok terdorong membuka tepat di saat kami berhasil menutupi seluruh tubuh kami dengan jerami. Aku menutup mulutku dengan kedua tanganku agar aku tidak berteriak.
“Siapaaaaaa…. yang ada di siniiiiiiiiiiii …….” suaranya terdengar parau dan serak. Matanya terlihat sekana bersinar ketika ia memandangi seluruh ruangan. “Jangan takuttt .. Aaaaaaaku tak akan menyakiti kaliaaaaan …. keluarlaaaaaaah ….”
Aku hanya bisa melihat sedikit ke nenek itu dari balik jerami, dan mataku memperhatikan karung yang ia bawa. Karung itu bergerak, seakan ada makhluk hidup yang dikurung di dalamnya. Aku hampir berteriak ketika melihat sesuatu mencuat keluar dari ujung karung yang terikat itu.
“Seutas tangan”
“Masuk!” perempuan itu menendang karung tersebut dan mendorong tangan itu kembali ke dalam karung. Apapun yang ada di dalam karung itu, ia masih bergerak-gerak.
Aku pikir Takashi dan aku benar-benar akan mati malam itu.
“Ahaaaaaa … apaaaaa mungkin kalian di siniiiiiiiii?” ia mengambil sebuah garpu rumput yang besar dan mendekat ke arah kami. Sebelum kami sempat kabur, ia mulai menusuki jerami tempat kami bersembunyi dengan garpu rumput tersebut.
Takashi dan aku menangis ketakutan dan berusaha mengelak dari serangannya. Jika saja tumpukan jerami itu tak cukup luas, pasti kami berdua sudah mati tertusuk saat itu. Kami terus mundur ke arah dinding kayu dari pondok ini ketika jerami di depan kami mulai membelah oleh tiap tusukannya.
Kami hanya berharap garpu rumput itu tak cukup panjang untuk menusuk kami. Dan tepat ketika tak ada tempat lagi bagi kami untuk mundur ….
“Ah, mungkin tidak apa-apa disini….”
Kami mendengar suara garpu rumput itu dibanting begitu saja di tanah. Kemudian suara langkah kakinya segera menggema di dalam pondok, masih diikuti oleh suara karung yang diseret di tanah.
“Sreeeeeek …. sreeeeeek ….” Suara itu makin menjauh dan menjauh.
Kami tak mampu bergerak sedikitpun. Bahkan ketika pondok itu sudah kosong dan wanita tua menakutkan itu pergi,
“Ia sudah pergi, kan?” bisik Takashi.
“Kurasa begitu ….”
Namun tak ada seorangpun dari kami yang ingin keluar dari tumpukan jerami itu. Untuk beberapa saat kami terus meringkuk di sana, sambil memikirkan apa yang akan kami lakukan selanjutnya.
Kemudian aku mulai menyadari hembusan angin malam yang dingin di tengkuk-ku. Aku menoleh dan menyadari ada sebuah lubang berdiamater 5 cm di dinding kayu tempat kami bersandar. Pantas saja kami sama sekali tak kehabisan napas di dalam tumpukan jerami itu.
Aku mendekatkan wajahku ke lubang itu untuk melihat keadaan di luar.
“KAU KELIHATAN LEZAT UNTUK DIMAKAN, NAK!” tiba-tiba suara wanita itu terdengar tepat di depanku dan tangannya yang kurus tiba-tiba mencengkeram wajahku dan langsung menarikku.
Aku menjerit ketika hal itu terjadi. Bau kulitnya sangat busuk dan anyir. Seperti bau darah. Setelah kejadian itu, aku tak ingat apapun. Aku pingsan karena ketakutan.
Ketika aku sadar, kami sudah berada di kantor polisi. Takashi juga pingsan saat itu dan terima kasih pada orang tua kami yang melaporkan kami, akhirnya beberapa polisi menemukan kami di pondok tersebut.
Mereka terlihat amat marah, namun kami justru sangat gembira melihat wajah mereka. Kami bersyukur bahwa kami selamat. Kami menceritakan kepada orang tua kami tentang apa yang terjadi. Namun mereka bersikeras bahwa itu hanyalah mimpi buruk.
Namun aku tahu itu bukanlah mimpi.