Suara-suara di Sumur Tua

Cerita Hantu ini adalah kiriman dari: M. Yusuf Shabran

Selamat membaca.


Tepat di pekarangan belakang, seorang tua asyik memainkan celuritnya pada rerumputan yang datang tanpa diundang. Siulan burung di angkasa menemani aktivitasnya.

Ia kelelahan, tetapi masih saja melanjutkan kegiatan. Tetiba kami mendengar suara-suara yang tidak asing. Mereka memanggil Pak Gembus dengan suara yang parau.

Orang tua itu siap siaga kemudian berjalan sembari melihat kiri kanan. Suasana menjadi sunyi. Air peluh berpancuran. Namun, dirinya kembali tenang saat Azmi menegurnya dari balik pintu belakang.

“Pak Gembus! Mau ke mana, Pak?”

Pak Gembus menghentikan langkahnya dan duduk di atas tanah gundul.

“Enggak ke mana-mana, Tuan. Saya cuma kaget saja. Tadi seperti ada yang melempar batu dari belakang.”

Azmi berlari mendekati Pak Gembus yang masih lelah. Mereka bercengkrama. Pak Gembus merasa terhibur dengan tingkah Azmi di kala istirahatnya. Lagi dan lagi, suara-suara itu menunjukan eksistensinya.

Bagaikan meminta nyawa, mereka kian mendekat. Sementara aku yang sedang asyik memainkan ponsel—mulai berdiri tegap—memberikan kode lewat mimik wajah ke Pak Gembus.

***

Azmi adalah anak dari pengusaha masyhur. Ia dan aku, kakak satu-satunya, dititipkan kepada Pak Gembus karena orang tua kami yang terlalu sibuk mengurus bisnis.

Rumah kami diperindah dengan cat berwarna kuning dan merah. Kemegahannya dapat dilihat dari gapura desa, yang tak jauh dari kediaman kami. Siapa saja yang melihatnya pasti akan mengaga dan tergugah.

Pernah suatu hari, kami menerima tamu yang datang entah dari mana. Ia lelaki yang senang bepergian jauh, yang meminta izin untuk tinggal sementara karena keterbatasan dana. Pak Gembus melayaninya dengan sabar.

Dengan seutas senyumnya, ia mempersilakannya untuk naik ke lantai tiga, menaruh barang-barangnya di kamar yang sudah lama kosong.

Aku yang saat itu bosan dengan suka hati menemani mereka. Lelaki itu bilang pada kami kalau ia senang bisa diterima walau bukan siapa-siapa. Namun ada yang aneh, bola matanya berputar mengelilingi kamar. Ia berkata, “Ini semua milik bapak?” tanyanya pada Pak Gembus.

“Bukan, Mas. Ini milik Tuhan yang dititipkan kepada pemuda sebelah saya.” Pak Gembus melirikku.

Lantas ia bertanya dengan angkuh, “Siapa dia?” Takzimku memudar seketika. Tanganku mengepal. Rasanya ingin memangsa orang itu, tetapi Pak Gembus menghentikanku.

Kami pun meninggalkannya, sementara ia tertawa puas bersama kepongahannya seraya menyenderkan kaki di atas pembatas ranjang.

Hujan syahdu mengeloni Azmi yang membuat ia terlelap di sampingku. Sementara aku, aku disibukan dengan tugas-tugas kuliah daring yang menumpuk sedari kemarin. Pekerjaan yang jelas tidak ramah. Soal-soal yang hadir hampir setiap hari.

Rumah terasa sepi. Aku tidak tahu keberadaan Pak Gembus sedari sore. Lelaki itu juga tidak kelihatan batang hidungnya, mungkin ia tertidur. Ketika aku sedang serius, terdengar sesuatu yang jatuh.

Aku kurang begitu peka dengan sumber suaranya, sebab suara itu tertimpa derasnya hujan malam. “Ah, mungkin suara kucing,” batinku.

Aku pun memutuskan untuk melanjutkan tugas.

Selang beberapa jam, pemandangan di luar tak kunjung reda. Mataku mulai berat. Aku memutuskan untuk menggendong Azmi ke kamarnya dan pergi menenangkan tubuh. Baru saja kakiku menginjak satu anak tangga, cahaya di ruang tamu pun redup. Pintu terbuka sendiri.

Lantas muncul seseorang yang memakai mantel. Wajahnya samar. Ia mendekat, aku pun berancang-ancang.

“Tidur, Tuan. Sudah malam.” Ternyata ia adalah Pak Gembus.

“Pak Gembus?” aku mendekatinya, meyakinkan diri bahwa itu betul dia. “Ternyata benar,” lanjutku.

“Maaf, kalau saya mengagetkan Anda. Saya baru selesai bersih-bersih,” katanya, tenang.

“Baiklah, Pak. Enggak apa-apa. Kalau begitu, silakan bapak beristirahat juga.”

Kami pun berpisah. Sebelum ia ditelan malam, aku sempat melihatnya memeras pundak. Setelah itu, terdengar bunyi-bunyi aneh yang disusul jeritan. Ia mencekik telingaku, menghantuiku sepanjang malam.

***

Aku ditemani kekosongan. Keadaan yang gelap membuatku gelisah, padahal mataku masih menyala. Aku berusaha menggapai sesuatu, tetapi tidak bisa sebab tidak ada pegangan di situ.

Aku semakin panik saat mendengar helaan nafas yang mengerikan. Sensasinya membuatku bergidik. Aku terus mencari pijakan tangan yang kuharap bisa menenagkan pikiran.

Tiba-tiba pundaku merasakan kehadiran benda yang meraba-raba. Aku berusaha menghindar, tetapi benda itu terus mengejar.

Ia mencengkeramku dengan kuat hingga sulit bernapas. Suara-suara yang mengutuk pikiranku datang kembali. Salah satu suaranya, aku merasa pernah mendengar sebelumnya. Kemudian halusinasiku berkeliaran, membentuk sebuah kematian yang terasa di depan mata.

“Tuan, sudah pagi, Tuan.” Pak Gembus membangunkanku.

Wajahku bermandikan keringat. Setelah itu, tanpa menyapa Pak Gembus, aku mencuci muka di kamar mandi. Mimpi-mimpi semalam masih terbayang dalam kepala.

“Tuan, saya sudah membuatkan sarapan,” ucap Pak Gembus dari luar kamar.

“Baik, Pak. Saya akan turun nanti,” jawabku sembari menenangkan diri.

Aku memutuskan untuk turun. Sebuah vas antik milik ayah membuatku berhenti. Terdapat bercak merah yang mengering pada vas antik yang letaknya dekat dari kamarku. Aku mengamatinya, terus menerus sampai bosan. Aku dibuat heran terhadap bercak noda yang menempel padanya.

Azmi yang kebetulan lewat karena baru bangun itu kucegat dengan nakal. Ia tidak suka kalau kakaknya iseng. Matanya terkantuk. Tercium bau yang menggugah lalat-lalat dari mulutnya yang menguap. Aku bertanya padanya tentang noda tersebut, tetapi Ia bilang tidak tahu.

Sementara aku sarapan, aku meminta Azmi untuk mandi. Setelah selesai, aku mencari Pak Gembus. Aku naik ke lantai tiga dan melihat pintu kamar yang dihuni Tamu kami terbuka. Ia tidak ada, barang-barangnya juga. Mungkin sudah pergi sebelum aku bangun, pikirku.

Aku memanggil-manggil Pak Gembus, tetapi tidak ada sahutan. Akhirnya, aku memutuskan untuk mencarinya ke halaman belakang. Suasana di sana terasa beda. Sepi yang biasanya menenangkan, seketika menegangkan. Tidak ada kicauan burung pagi, angin sepoi, dan Pak Gembus, yang ada hanyalah onggokan daun.

Rasa penasaran mendorongku untuk mendekati tumpukan itu. Spontan, aku dikagetkan dengan penampakan darah yang bersarang, bahkan darah itu seperti memberi petunjuk akan rasa penasaranku. Aku terus mengikuti jejak yang dibuatnya, yang menemuiku pada sumur tua—menganga.

“Tolong! Siapa pun tolong aku!”

Aku dibuat kaget oleh teriakan seseorang.

“Seperti suara orang tua,” kataku dalam hati. Benar saja, seketika itu juga, mataku melotot, tetapi tak sampai copot, melihat pemandangan yang mengerikan.

Pak Gembus dalam bahaya. Kakinya ditarik oleh makhluk-makhluk pasi yang meronta. Teriakannya membawaku pada mimpi semalam. Mimpi yang memberikan rasa mati.

Dan aku bisa melihat dengan jelas—sangat jelas, seorang Lelaki—tamu kami. Wajahnya Pasi, suara dari mulutnya yang dipenuhi lebam menandakan ia pernah disiksa. Dan makhluk-makhluk pucat lain. Anehnya, mereka menghiraukanku.

Dari salah satu mayat itu ada yang berusaha memanjat—menggerogoti tubuh indah Pak Gembus yang tampak menderita. Panik yang teramat sangat membuatku bingung, memanggil Azmi pun tidak ada gunanya.

Akhirnya, aku melantunkan doa-doa sehafalnya. Dengan dibantu Paman Gembus, mereka pun binasa. Pak Gembus pun selamat meski pergelangan kirinya bergelimang darah.

Sumur yang tak jelas asalnya dan untuk apa sebenarnya? Ah, sebelum pertanyaan itu kuberikan padanya, kami pun menutup lubang sumur dan bergegas pergi. Merasa semuanya sudah selesai,

Pak Gembus menyatakan sesuatu yang membuat sekujur tubuhku berdiri. Sesuatu yang ada pada kamar lantai tiga–tempat Tamu kami ditidurkan selamanya.