Saat aku kelas lima, temanku dan aku akan sering berkeliaran setelah pulang sekolah. Salah satu tempat favorit kami untuk dituju adalah sebuah tambang yang terbengkalai. Disana ada sebuah jalan masuk di gunung dekat sekolah.
Disana ada sebuah lubang besar di tengah jalan menuju ke puncak, dan jika kau mengintip ke dalam, terlihat seperti jalan setapak yang ada 5 meter di bawah tanah. Suatu hari, kami berempat memutuskan untuk pergi ke tambang itu. Kami membawa tali dan senter ke sekolah, dan saat kelas selesai kami membawanya menuju ke jalan masuk tambang.
Aku masuk duluan. Kami mengikat tali pada sebuah pohon, dan aku perlahan turun menuju ke lubang, berpegangan pada tali dan kakiku berpijak pada dinding selama aku turun. Beberapa kali, kupikir kakiku kokoh berpijak, ternyata aku salah.
Seketika aku tergelincir dan jatuh ke dasar lubang. Aku merasakan sakit di mana-mana; aku mengerang kesakitan, lutut kiriku terkilir, dan lengan kananku robek hampir sepanjang 8 cm. Kedua telapak tanganku juga terasa seperti terbakar karena mencoba mencengkram tali sebelum jatuh.
Terdapat sedikit ceceran darah di tanah dan bajuku. Aku sangat ketakutan. Aku menyalakan senter dan mengarahkannya ke jalan setapak di dalam tambang. Sesuatu di dalam seperti sedang bergerak maju mundur.
“Apa kau baik-baik saja?!” temanku menjerit padaku. Aku tidak berkata apa-apa kepada mereka sejak jatuh, jadi aku pikir mereka cukup cemas.
“Yea, aku baik-baik saja! Kawan, cepat turun ke sini!” Aku mencoba berteriak, tapi suaraku bergetar karena rasa sakit dan takut yang kurasakan. Aku ingin menangis dan
berteriak saat itu, tapi aku tidak ingin mereka lari ketakutan dan meninggalkanku di dalam lubang. Aku mencoba untuk tetap tenang sebisa mungkin agar mereka terus bersamaku.
“Mukamu berlumuran darah! Cepat naik ke atas sini!” mereka balas berteriak. Tidak ada yang mau turun untuk membantuku.
“Oke, aku datang! Tapi bisakah kau mengawasiku saat aku memanjat ke atas? Jangan pergi kemana-mana tanpa diriku! Tolong tetap disini sampai aku naik ke atas sana!” aku setengah menangis saat itu. Ketiga temanku mengawasi saat aku memanjat. Kedua tanganku tidak mampu mencengkram tali, jadi aku perlahan menumpuk batu untuk menciptakan semacam pijakan untuk naik ke atas.
Aku melihat muka teman-temanku dan merasa sedikit lega saat mengetahui aku akan keluar. Hal itu, bersama dengan rasa sakit dan keletihan. Aku tidak bisa bergerak dan meminta temanku untuk menarikku ke atas. Mereka mulai menarikku ke atas dengan kedua tangan. Aku begitu dekat. Aku hampir berhasil keluar.
“Ahhhhhhhh!” Dua temanku menjerit dan lari begitu saja. Aku hampir saja terjatuh lagi, tapi teman terakhirku bertahan dan lanjut membantuku keluar dari lubang.
“Terima kasih,” ujarku, dan aku duduk di atas rumput dengan lemas. Aku melihat dia hanya untuk melihat matanya yang terpaku pada sesuatu di belakangku. Aku ingin melihat apa yang ada disana, tapi aku terlalu takut untuk berputar. Sebaliknya, aku berdiri dan mulai bersandar di bahunya sembari kami menuruni sisi gunung secepat yang kami mampu.
“Apa yang kau lihat tadi?” aku bertanya saat kami berada di tempat yang aman.
“Seorang pria. Dia berlumuran darah… tapi dia tidak mengikuti kita lagi.”
Saat itu jam 7.00 saat aku akhirnya sampai di rumah. Orang tuaku melihat ceceran darah pada kulit dan bajuku dan mulai bertanya padaku satu demi satu pertanyaan. Aku memberitahu mereka semua yang terjadi-gunung, tambang, pria misterius, dan segala sesuatunya.
Ibuku mulai panik dan menarikku keluar setelah menggenggam sekantung besar garam. Dia mengelilingiku, menabur garam padaku sembari melakukannya. Air mata bercucuran dari mataku saat garam mengenai lukaku, tapi ibuku tetap melanjutkan sampai selesai.
Saat aku bertanya padanya kenapa dia melakukannya, dia melihat ke arahku dengan tatapan mendalam. Rupanya tambang itu sudah ditutup terkait dengan sebuah kecelakaan beberapa tahun yang lalu. Banyak orang yang meninggal, dan dikatakan bahwa arwah mereka masih menghantui gunung itu.