’Klak!’
“Hei! Itu coklat milikku!” teriak anak laki-laki berkacamata dan berbadan kurus, Daniel.
“Jangan berisik, Salahkan saja dirimu yang membuat kita tersesat di hutan ini selama dua hari. Sampai sekarang aku masih bingung kenapa ibu memberikan adik seperti dirimu.” jawab seorang anak laki-laki, Roger.
Ia adalah seorang anak laki-laki dengan model rambut cepak serta berbadan lebih besar dan tinggi dari daniel. Ia membawa tas ransel berwarna hijau lumut di punggunnya sambil mulutnya tetap mengunyah coklat batangan yang ia genggam.
Daniel tidak berani memandang kakaknya, dia mengalihkan pandangannya ke tanah. “Maaf… ini semua karena rasa penasaranku yang menang melawan kepatuhan akan peringatan ayah dan ibu. Aku sendiri—” suaranya terhenti seketika. Dia melihat ke arah batu besar di hadapan mereka. Batu besar yang disadari sudah mereka lewati sebanyak tiga kali sejak kemarin.
“Sial!” seru Roger, yang sepertinya satu pikiran dengan Daniel. “Sebenarnya ini hutan apa! Apakah kita sudah pindah dari bumi dalam waktu 48 jam, hah?” Roger tak bisa lagi menahan emosinya ditambah dengan perut lapar dengan persediaan makanan yang semakin menipis.-
Hutan aneh yang seakan tak ada jalan keluar. Semua berpadu dalam keharmonisan emosi yang membuat dirinya geram. Konyol, hanya itulah yang dia pikirkan. Sebagai anak yang selalu mendapat beasiswa di sekolahnya, dia membenci hal-hal irasional.
Mereka terus berjalan, dengan bekal kompas yang sepertinya sudah rusak. Roger memeriksa kembali ponselnya yang tidak menunjukkan tanda-tanda kemunculan sinyal. Benar-benar hari keberuntunganku, batin Roger.
Daniel melihat ke sekitar. Hanya ada pohon-pohon tinggi, bebatuan besar, dan tanah yang sedang dipijaknya sekarang. Dia bahkan tidak mengetahui jenis-jenis dari pohon besar itu. Sebenarnya, Daniel dan roger bergabung dengan klub pecinta alam, namun sehebat apapun, mereka tetap tidak mengetahui alam apa yang sekarang sedang mereka pijak.
Ini memang kesalahan besar, pikir Daniel. Seharusnya dia tidak menyepelekan nasihat orang tuanya. Seharusnya dia juga tidak memaksa Roger menuruti keinginan di hari ulang tahunnya itu. Yah, kemarin adalah hari ulang tahun Daniel.
Daniel menyesal karena telah membohongi orang tuanya. Dia tahu bahwa dirinya adalah anak paling nakal sejagat raya. Dia berkata akan mengikuti kegiatan dari klub pecinta alam di sekolah mereka, namun pada kenyataannya, kegiatan itu tidak sepenuhnya benar.
Dia hanya ingin pergi ke tempat yang seumur hidupnya selalu dilarang oleh orang tuanya. Tempat itu bernama “Hutan Lupa”. Rumor hanyalah rumor, pikir Daniel. Belum tentu rumor yang dikatakan orang lain adalah benar. Untuk alasan itu, dia membuktikannya sendiri.
Kakak beradik itu berjalan tanpa tahu arah. Daneil beberapa kali meminta untuk beristirahat karena punggungnya terasa sakit.
“Kau sudah membawa peralatan yang paling ringan!” bentak Roger. “Jangan manja, lihat saja tas punggungku, ukurannya 3 kali lipat dibandingkan dengan tas milikmu.” lanjut Roger sambil berbalik untuk menunjukkan tas berisi peralatan kemah, termasuk tenda dan alas tidur.
Terlihat seperti punuk unta, pikir Daniel menahan tawa. Tidak mungkin dia tertawa. Tidak setelah dia berkali-kali membuat ulah yang melibatkan Roger dan membuatnya kerepotan.
“Tunggu!” raut wajah Daniel terlihat serius sekarang. “Apa kau mendengarnya… seperti… suara air?” Daniel sedikit meragukan pendengerannya, namun di hutan yang terasa semakin gelap ini, panca indra adalah senjata utama untuk bertahan.
Daniel mulai berlari, mencari di mana titik suara tersebut semakin terdengar, Roger juga secara tak sadar mengikuti Daniel.
Mereka terus berlari, tanpa mengatakan sepatah kata pun, hingga pemandangan menyajikan sebuah danau.
Danau biru, dengan air terjun di sisinya. Bebatuan besar dan… beberapa sosok yang membuat kedua kakak beradik itu menelan ludah.
Kakak beradik itu berhenti serentak, Daniel tertegun, dan bergerak mundur. Seketika itu pula, sosok-sosok tadi melihat ke arah mereka.
Bagi Daniel, sosok itu tampak seperti putri duyung—dengan tubuh bagian kepala hingga perut yang menyerupai sosok wanita berambut panjang serta tubuh bagian bawah yang menyerupai ekor ikan berbias cahaya sehingga menimbulkan kemilau pelangi di sisiknya.
Namun, Daniel menyadari ada yang aneh dari aura mereka. Tepatnya, raut wajah mereka yang misterius. Sementara di belakang Daniel, Roger mulai maju perlahan.
Salah satu dari putri duyung tadi, mulai membuka mulutnya, dan mengeluarkan nyanyian yang merdu. Sangat merdu dan indah. Suara itu membuat Daniel dan Roger terpana, tanpa disadari mereka mulai bergerak maju.
Daniel dan Roger seakan terbius oleh suara merdu makhluk itu. Namun, Daniel tidak sadar bahwa ada akar besar yang mencuat dari tanah. Daniel maju perlahan, namun akar besar itu membuatnya tersandung dan terjatuh.
Daniel yang tersungkur mencium tanah, mendongakkan kepala dan membetulkan letak kacamatanya. Kesadarannya mulai kembali, dia teringat sebuah kisah tentang putri duyung yang membuatnya langsung menutup telinga.
“HEY! ROGER! SADARLAH!” Daniel berteriak agar Roger tidak terus berjalan dengan tatapan kosong ke arah para putri duyung tadi. Dia berusaha bangkit sambil tetap menutup telinga. Sangat sulit, sampai akhirnya dia berhasil. Segera dia berusaha berlari ke arah Roger, mencoba untuk menarik saudaranya kembali, namun dia baru menyadari bahwa separuh tubuh Roger sudah berada di dalam air danau.
“Sialan!” pekiknya, ketika melihat salah satu dari putri duyung tadi menghampiri kakaknya.
Putri duyung mulai berhenti menyanyikan nyanyiannya, dan ikut menghampiri tubuh Roger yang separuh sadar.
Sementara putri duyung lainnya yang sudah berada tepat di hadapan Roger, meraih tubuh Roger, dan memeluknya. Tak lama, putri duyung tadi tersenyum, memperlihatkan gigi-gigi runcing dan lekas menggigit leher Roger.
“Arghhh!” rasa sakit membuat Roger kembali sadar, dia mencoba bergerak namun ia menyadari sudah ada empat putri duyung yang mengepungnya.
Daniel merasa kakinya sangat lemas. Dia bergerak mundur perlahan dan berlari menjauh dari danau tadi. Tanpa sadar, air matanya perlahan menetes. Daniel terus berlari, dan beberapa kali terjatuh karena tersandung akar pohon atau bebatuan. Namun, Dia berlari. terus berlari tanpa arah, dan hanya mengandalkan instingnya.
Sampai instingnya membawa tubuhnya ke perbatasan hutan, di pinggir jalan raya.
“Aku selamat!” teriaknya dengan senang diiringi rasa bersalah. Dia mengenal jalan raya ini. Tidak jauh dari jalan raya akan ada terminal bus, dan dirinya bisa sampai di rumah dengan selamat. Yah, hanya dia yang selamat.
***
Selama di dalam bus, Daniel berpikir keras. Dia tidak tahu bagaimana caranya menyampaikan kejadian mengerikan yang menimpa saudaranya itu. Orang tuanya pasti akan marah besar, terlebih kecewa karena dibohongi.
Namun, hukuman adalah urusan kesekian, pikir Daniel. Yang pertama harus dia lakukan adalah memberi tahu rahasia “Hutan Lupa” kepada masyarakat.
Daniel bersiap untuk berdiri dari duduknya. Pemberhentian di depan kompleks rumahnya sudah dekat.
***
Daniel berdiri di depan pintu rumahnya, menekan bel berkali-kali, namun tidak ada jawaban. ‘Apakah mereka sedang ada urusan?’ batin Daniel, menenangkan diri.
Bulan-pun sudah mulai menunjukan wujudnya dan lampu rumah menyala terang. Mungkinkah orang tua Daniel belum pulang? Daniel kerap menekan bel sampai akhirnya terdengar bunyi ‘Klek’ dari gagang pintu yang diputar.
Itu adalah ayahnya yang menyambut Daniel dengan wajah bingung.
“Maaf, ada keperluan apa?” tanya laki-laki berambut putih yang mengenakan piama tersebut/
“Apa maksudmu, Ayah? Aku tahu kau akan marah soal ini, tapi setidaknya biarkan aku memberi penjelasan…,” Daniel tergagap ketika mendapati tingkah laku aneh dari ayahnya.
“Siapa itu, Sayang?” tanya seorang wanita yang juga memakai piama tidur. Dia berjalan mendekati pintu.
“Entahlah, anak ini… hei! Siapa tadi yang kau panggil Ayah, hah? Apa kau sudah gila?”
Daniel tidak bisa menyembunyikan kebingungan di wajahnya. “Tapi… hei, Ibu, Ayah, ini aku, Daniel, putra kalian!”
“Sial, apa kau ingin menghina kami, hah? Apa kau mengejek aku dan istriku karena tidak memiliki seorang anak pun di usia setua ini? Persetan dengan kau gelandangan! Pergi sana!” itu ucapan terakhir dari pria yang dipanggil Ayah oleh Daniel, sebelum dia membanting pintunya.
Sesaat kemudia, pintu terbuka lagi, menampakkan wajah wanita yang memakai piama tadi. “Sebaiknya kau cepat pergi, dia memang agak sensitif akhir-akhir ini. Cepatlah, sebelum dia memanggil polisi,” ucapnya sebelum menutup pintu kembali.
Daniel tidak bisa berkata-kata. Dia merasa bingung, takut, sekaligus putus asa. Terlebih lagi dia harus mencari cara agar dia bisa memberitahu kepada dunia bahwa legenda dari “Hutan Lupa” itu benar adanya. Bahwa jika seseorang bisa kembali dengan selamat dari hutan itu, maka orang tersebut akan menghilang dari ingatan semua orang yang dia kenal. Dengan kata lain, “dilupakan”.
Sekarang Daniel hanya berpikir untuk mencari cara memberi tahu ke semua orang tentang realita dari “Hutan Lupa” itu. Namun sekarang dia sepenuhnya bingung. Dia mencoba berpikir, Apa sebenarnya rahasia dari “Hutan Lupa”? Apa yang membuat orang lain dilupakan?
“Lagipula, mengapa aku pergi ke hutan itu, sendirian?” kini Daniel mulai berbicara sendiri.
Baca juga: Penyihir Kuno