TUMBAL PENAMBANG PASIR

Cerita ini berasal dari kisah nyata. Sebuah keluarga penambang di wilayah Jawa Timur yang selalu mengawali kegiatan mengambil pasir dengan ritual khusus.

Asap rokok yang diisap Waluyo terus mengepul. Tatapannya masih terpaku, terpanah oleh tingkah Sabirin yang membuatnya tak bisa berpaling.

Dari kejauhan, Waluyo serius memandangi mereka.

Tiba-tiba suara Mbok Wisto, pemilik warung kopi tempat Waluyo sedang duduk, mengejutkannya.

“Enek opo sih yo? Kok nonton keluargane Birin kok nganti kaget gitu. Bocah-bocah kae kok lakune wes ngunu ae.” Ucap Mbok Wisto santai sambil mengaduk kopi panas dalam cangkir.

(Ada apa sih? Kenapa serius amat lihat keluarga Birin? Anak-anak itu sudah seperti itu saja kelakuannya.)

Ucapan Mbok Wisto membuat Waluyo tersenyum tipis. Tatapan matanya jelas-jelas meremehkan tindakan keluarga Sabirin yang berada di seberang sana.

“Iyo Mbok, wong ngono kok nyleneh. Lakune ngono kui nampa wangsit soko dhayang apa piye? Lek dudu wong sugeh, mosok iso nyembelih sapi papat terus didum sak karepe.” Jawab Waluyo.

(Iya Mbok, orang kok tingkahnya aneh. Apa itu dapat wangsit dari makhluk halus atau gimana? Kalau bukan orang kaya, masa bisa motong empat sapi dan dibagikan sembarangan.)

Mendengar perkataan Waluyo, Mbok Wisto hanya menyunggingkan senyum. Sabirin memang dikenal sebagai orang berada di desa itu. Namun, warga merasa aneh dengan sumber kekayaannya.

Banyak yang menyangka Sabirin dan keluarganya memakai pesugihan dan setiap tahunnya harus memberikan tumbal.

Meski belum pernah terlihat adanya tumbal manusia, warga juga tak melihat ada keluarga Sabirin yang meninggal mendadak.

Jadi, isu bahwa Sabirin melakukan pesugihan demi kelancaran penambangan besar-besaran itu masih sebatas desas-desus. Warga tak bisa sembarangan menuduh keluarga itu telah melakukan sesuatu yang melampaui batas.

Cerita kemudian berpindah ke suasana keluarga Sabirin yang sedang khusyuk menjalani semedi.

Sabirin duduk di depan, menunduk sambil membaca ayat-ayat khusus yang tidak diketahui apa maknanya.

Janet, yang melihat ayahnya tengah memimpin ritual, menyenggol lengan istrinya.

“Sampek jam piro iki ngadep gunung model ngene?” Tanya Janet pelan dengan nada lesu.

(Sampai jam berapa kita begini menghadap gunung?)

Putri yang duduk memejamkan mata terkejut mendengar suara Janet.

“Jangan berisik, nanti ayah marah loh mas…”

Tiba-tiba, Sabirin berdiri, menoleh ke belakang melihat anggota keluarganya yang mengikuti ritual tersebut.

“Sudah ketemu jawabannya. Potong sapinya sekarang dan segera dibagikan.” Ucapnya dengan tegas.

Semua anggota keluarga pun berdiri, langsung melaksanakan perintah Sabirin.

Sabirin lalu kembali termenung, menatap ke arah gunung. Ia memejamkan mata. Janet, yang memperhatikan ayahnya, heran.

Mengapa ayahnya memilih melakukan ini di tempat terbuka? Di tempat dia dan para pekerja menambang pasir?

Kenapa tidak menggelar upacara resmi saja, undang warga kampung agar mereka bisa merasakan sakralnya hasil rezeki ini?

Sore itu, suasana tambang tampak biasa seperti hari-hari sebelumnya.

Sabirin masih larut dalam pikirannya, terngiang kata-kata dari sosok yang masuk ke dalam tubuh Janet. Dari kejauhan, ia melihat sosok perempuan berdiri mematung mengawasinya.

Sabirin menyipitkan mata, mencoba memastikan kembali. Ada sesuatu yang tak biasa dari perempuan itu.

Karena penasaran, Sabirin berdiri dan memandangi sosok tersebut lagi.

Ternyata, perempuan itu membawa seekor ular yang melingkar di lehernya.

Kaget bukan main, Sabirin terus mengamati gerak-gerik perempuan itu. Anehnya, beberapa orang yang berada dekat sosok tersebut hanya berjalan melewatinya begitu saja, seolah tidak ada apa-apa di sana.

Perempuan itu kemudian mengayunkan tangan kanannya, memberi isyarat agar Sabirin segera pergi dari situ.

Namun, Sabirin belum memahami maksud isyarat itu. Tiba-tiba, asap tebal dan suara gemuruh datang secara tiba-tiba.

Sabirin panik dan kebingungan. Asap yang dilihatnya berasal dari lahar panas yang mengalir deras ke arah lokasi penambangan.

Sabirin mulai berteriak, namun pekerja dan keluarganya yang berada di bawah tidak mendengarnya.

Ia menyuruh Naryo, yang saat itu berada di atas, untuk segera memberi tahu ke bawah tentang lahar yang mengarah ke tambang.

Naryo yang juga panik, langsung mengambil kunci motor dan meluncur ke bawah secepatnya.

Beberapa penambang mulai naik ke atas, namun sebagian lainnya tak sempat menyelamatkan diri.

Lahar yang mendekat dengan cepat tak terhindarkan. Beberapa pekerja dan kerabat Sabirin tersapu panasnya lahar itu.

Tak ada yang bisa dilakukan Sabirin, kecuali menunggu sampai lahar itu benar-benar hilang.

Gambar sebagai Ilustrasi

Setelah semuanya reda, Sabirin segera turun untuk melihat kondisi di bawah.

Pemandangan sangat memilukan. Beberapa pekerja tewas tersapu lahar, tubuh mereka sulit dikenali.

Ketika ia berjalan menuju salah satu kendaraan yang sebagian sudah tertutup abu lahar, Sabirin nyaris tak percaya dengan penglihatannya…

Truk yang sangat ia kenali itu kini jadi saksi bisu keganasan lahar panas yang telah merenggut nyawa keluarganya — termasuk pemilik truk yang tergeletak di depannya.

Di dalam truk, tampak sepasang kepala yang hangus bersandar di sofa truk, mata sedikit melotot.

Mereka tak lain adalah Janet dan istrinya yang sedang hamil — korban dari amukan lahar itu.

Sabirin hanya bisa tertunduk lemas, hancur karena anak dan menantunya turut menjadi korban.

Saat itulah ia teringat kembali pada pesan dari sosok yang pernah masuk ke tubuh Janet…

Sabirin telah melakukan kesalahan besar: ia telah menutup jalur lahar demi ego dan kepentingannya sendiri.

Inilah akhir dari cerita tumbal penambang pasir. Tak ada unsur kesengajaan dalam penyebutan nama atau tempat.

Selamat malam, dan semoga tetap semangat membacanya.

SELESAI.