CreepyFiles – Nia menghadap wanita itu, ia memperkenalkan dirinya sebagai salah satu pamong yang mengawasi anak-anak, rumah ini, memang besar, banyak kamar tersedia, namun, tidak semua kamar terisi, karena beberapa kamar, memang sengaja, dibiarkan kosong, untuk apa, tampaknya, itu rahasia
“disini, bila memanggil pamong, panggil namanya saja, tapi, diawali dengan Ni ya, kenalkan, nama saya, ni Elin” ucapnya, dari gelagat cara ia bicara, ni Elin terlihat sangat tegas, terkesan sangat galak, Nia mengikuti beliau, ia membawa Nia menaiki anak tangga.
ada yang Nia selalu perhatikan ketika ia melewati pintu-pintu dikoridor, terutama, dibagian sudut pintu, ia melihat disetiap pintu, ada lonceng yg terpasang, aneh, ni Elin berkali-kali mencuri pandang lewat ekor matanya, ia selalu tersenyum, saat Nia berhasil melihat tatapannya
“ada yang ingin saya sampaikan, selama tinggal dirumah ini, aturan adalah mutlak, bila tidak menuruti aturan disini, konsekuensi akan menjadi pembelajaran bagi mereka yg melanggarnya” ni Elin, membuka pintu, “kamarmu nak”
Nia melangkah masuk, sebuah ruangan yg tidak terlalu besar namun cukup lega untuk menjadi kamarnya. kecuali, ia melihat ranjang bertingkat disana.
“teman sekamarmu, nanti, akan pulang, nanti saya kenalkan sama semua anak yg ada disini, istirahat dulu” ni Elin menutup pintu
aroma debu dari tembok tua, dan sejumblah perabotan usang, Nia melihat setiap detail yang bisa ia amati, sukar, bila harus tinggal ditempat yg kotor seperti ini.
BACA JUGA CERITA HOROR LAINNYA : PENGHUNI KELAS MALAM
sesaat kemudian, Nia melihat sesuatu dijendelanya, Rumah ini, memiliki 2 lantai, tempat kamar Nia berada, disana,
di jendela, Nia bisa melihat langsung ke halaman belakang rumah, pemandangan langsung yg bisa Nia nikmati, namun, dari jendela itu, Nia juga bisa memperhatikan sekitar. lingkungan rumah yang dipenuhi pepohonan rimbun dengan area rumput beserta alat bermain untuk anak-anak.
karena terlalu penat, setelah menempuh perjalanan jauh, Nia memutuskan untuk beristirahat, ia merebahkan tubuhnya, kemudian terlelap dalam tidurnya.
mungkin karena terlalu lelah, hingga Nia tidak sadar, seseorang, tengah bernafas tepat diwajahnya, hal itu, membuat Nia terbangun dan membuka mata, ia tersentak saat melihat seorang gadis kecil, menempelkan wajahnya, mengamatinya, lantas tersenyum dengan gigi bugisnya.
masih mengenakan seragam sekolah, gadis itu terus melihat Nia, memperhatikannya dengan seksama, seperti mengamati Nia, membuat Nia merasa tidak nyaman
“ahu, inga inini ua” ucap gadis itu
Nia tidak mengerti ucapannya, lantas kemudian melangkah keluar kamar, meninggalkan si gadis
Nia menuruni anak tangga, mencari ni Elin, saat Nia sedang mencari-cari keberadaan ni Elin, Nia bertemu dengan seorang wanita, ia berperawakan besar, mengamatinya lantas bertanya.
“nduk, kamu yg tadi baru datang”
Nia mengangguk, “kamu cari siapa?”
“ni Elin”
“memangnya ada urusan apa?” tanya si wanita.
“dikamar saya, ada anak kecil, saya tidak mengerti itu siapa dan kenapa cara bicaranya seperti itu” sahut Nia,
“oh begitu” ucap wanita itu, mengantar Nia kembali ke kamar, “dia yg akan menjadi teman sekamarmu” “maaf, dia tunawicara”
dikamar, Silvi sudah ada diranjang atas, melihat Nia melangkah masuk saat suara lonceng itu berbunyi, Nia langsung pergi ke ranjangnya, melihat Silvi, menunjukkan kepalanya dari atas, melihatnya dengan tatapan seperti biasanya
“sudah malam, tidur” kata Nia, Silvi mengangguk,
Malam, semakin larut, namun, Nia belum juga bisa memejamkan matanya, ia melirik jam kecil diatas meja, sudah pukul 12 malam, ia terbangun, lalu duduk diranjangnya, mengamati situasi, mungkin Silvi sudah tidur, tiba-tiba, terdengar suara lonceng yg berbunyi dari luar,
awalnya, ia hanya mendengar satu lonceng, Nia mendengarkan dengan seksama suara itu, siapa yg keluar jam 12 seperti ini
Nia kembali tidur, memejamkan matanya, sebelum, suara lonceng berdenting, terus menerus, Nia yg mendengarnya, terbangun dari tidurnya.
suara-suara itu membuat Nia merasa tidak tenang, seakan puluhan pintu dibuka secara bergantian, hal yang membuat Nia penasaran, namun, ketakutan seperti mengurungnya, ia menutup telinganya dengan bantal, membiarkan suara itu, menghilang dengan sendirinya.
keesokan paginya, Nia membuka kamar, ia melihat dengan seksama, namun, tampaknya tidak ada yg terjadi ditempat ini, Silvi sudah berganti seragam, menyapa Nia, lalu melangkah pergi, bergabung bersama anak-anak lain, mereka menuju sekolahnya masing-masing.
“ibuk pengen kamu sekolah, ibuk sudah mengurus surat-suratnya, besok, mungkin kamu sudah bisa ikut bersama yang lain” kata ni Ika, tersenyum
“iya ni, terimakasih” sahut Nia, selama dirumah, Nia penasaran, sebesar apa rumah ini, ia kemudian, menelusuri sejengkal demi sejengkal
Nia masih mengawasi stiap pintu, selalu saja ada lonceng diatasnya, hingga, Nia melihat sebuah ruang, dengan anak tangga yg terputus, tempat itu, cukup sulit diakses karena latarnya yg jauh dibelakang, anehnya, hanya ada satu pintu disana, dan tepat dipintu itu, tidak ada lonceng
namun, Nia tahu, tidak ada cara untuk kesana, tangga kayu itu seperti sudah lama patah
Nia berbalik, berniat kembali ke kamar, sebelum, ia mendengar, seseorang, seperti menggaruk pintu darisana, suaranya terdengar hingga Nia merasa, ada orang didalam sana.
Nia langsung pergi, ia meninggalkan tempat itu, seperti apa kata hatinya, tempat ini, jauh dibelakang, dan aksesnya yang benar-benar sulit, ia merasa, tempat itu adalah tempat wingit, dari suasananya, Nia bisa membaca, bahwa sebagian rumah ini, rupannya tidak diurus dengan baik
Nia kembali ke kamar, menutup pintu, ia memutuskan menghabiskan waktu tidur diatas ranjang, namun, ketika Nia merebahkan badannya, ia melihat sesuatu di meja, sebuah foto kecil hitam putih, ia baru menyadari, bila di meja itu, ada pigura menyerupai liontin dengan foto kecil
disana, ia mendapati foto wanita yg sama, ia mengenakan pakaian yg sama persis, dengan foto yg Nia lihat diruang tamu.
“Siapa wanita itu””sepenting itu kah dia, sampai fotonya ada dimana-mana”
Nia meletakkanya, menunggu sendirian, tanpa Silvi, tempat ini lebih sunyi.
terdengar lonceng berbunyi, Nia terbangun dan melihat Silvi melangkah masuk, melemparkan tasnya serampangan, kemudian melepaskan sepatu dan seragam sekolahnya, Nia bangun untuk membereskannya, meletakkan dimana seharusnya benda itu berada.
ia merasa, Silvi seperti adik kecilnya
seperti biasa, Silvi mulai bicara banyak, dan dari pembicaraan yg banyak itu, Nia hanya mengangguk, tidak ada satupun kalimat yg ia mengerti, kecuali, saat ia meragakan gerakan untuk minum, Nia baru mengerti, Nia dan Silvi, melangkah pergi, menuju dapur
ditengah perjalanan, Nia bertemu seorang perempuan, wajahnya tampak menyelidik, ia menatap Silvi kemudian Nia bergantian, lantas kemudian mengatakannya,.
“kalau aku jadi kamu, aku akan menghindari anak ini”
perempuan itu melewati Nia begitu saja, sembari meilirik jijik Silvi,
ni Elin pamit pergi, saat pintu kembali ditutup, suara lonceng itu mengakhiri semua peristiwa ganjil malam ini
Silvi tidak marah kepada Nia, ia, mengatakan sesuatu kepada Nia sebelum pergi ke ranjang tidurnya, sebuah kalimat lain
“ang amu awa iuuu iaaak” sembari tersenyum
“Nia, bangun nak”
Nia baru membuka mata, ia melihat ni Eva tengah berdiri disamping tempatnya tidur, ia ingat apa yg terjadi, kejadian semalam, seperti kembang tidur saja, lantas, Nia berdiri memberi salam kepada ni Eva
“kamu ditunggu ni Ika, sekarang ya”
Nia mengangguk
Nia melangkah menuruni anak tangga, lantas, ia berjalan menyusuri lorong, tiba2, Nia melihat seorang anak lelaki yg biasa ia lihat di meja makan, Nia berpapasan dengannya
“si Anak” gumam anak itu tiba2, entah benar atau tidak, Nia yakin, kalimat itu yg anak lelaki itu gumamkan
Nia mengetuk pintu, dari dalam terdengar suara ni Ika yg menyahut, “masuk”
Nia membuka pintu, ia melihat, wanita paruh baya itu tengah duduk, tatapannya menyelidik, sebelum ia tersenyum mempersilahkan Nia duduk.
“sini nak, duduk” katanya lembut,
“ada apa ni” tanya Nia, dari semua 3 pamong yg ada disini, ni Ika adalah yg membuat Nia merasa was-was, mungkin karena beliau yg memiliki garis wajah yg keras, membuat Nia merasa terintimidasi, selain itu, umur ni Ika yg paling tua bila dibandingkan dengan ni Elin apalagi ni Eva
“jangan gugup begitu” sahut ni Ika, ia menurunkan kacamata yg sedari tadi terpasang di wajahnya, lantas, ia menatap Nia lagi,
“saya sudah mengurus semua urusan kamu, kamu mau ya sekolah sama seperti yg lain, ibuk pengen kamu sama seperti yg lain, bisa melanjutkan pendidikan”
Nia mengangguk sembari menjawab “inggih buk” katanya,
untuk kali ini, Nia bisa melihat garis keras di wajahnya, melunak, Nia juga menatap senyuman di bibirnya, Nia merasa, mungkin, ni Ika memang seperti itu, tugas beliau sebagai ketua pamong membuat banyak orang salah menilainy
namun, ketika Nia pikir alasan kenapa ni Ika memanggilnya selesai, tiba-tiba, ni Ika menannyakan sebuah pertanyaan yg aneh,
“gimana, kerasan gak tinggal sama Silvi?”
Nia yg mendengar itu, menatap mata ni Ika tampak menyelidik, ia seperti menunggu Nia menjawab pertanyaannya
“saya tidak mengerti maksudnya ni, apa yg coba ni tanyakan”
Nia yg mengajukan pertanyaan kembali kepada ni Ika hanya dijawab dengan kening mengkerut lantas mencoba membuang ekspresi penasaran itu, Nia, semakin curiga melihat gelagat yg cepat berubah itu, seakan, menutupi
“saya hanya tanya saja, hal itu, sama seperti yg lain, apakah mereka betah sama teman sekamarnya, yg jelas, saya ingin, rumah ini tetap kondusif saja, tanpa ada yg ditutup-tutupi” sahut ni Ika, ia mempersilahkan Nia pergi, Nia berdiri membuka pintu, sebelum, ni Ika memangil lagi.
“kamu, sudah berkeliling kan, sudah tahu dimana saja dan tempat apa saja yang ada disini?” tanya ni Ika,
Nia mengangguk,
“bagus, begini Nia, ibuk bisa minta tolong”
“tolong apa ni” tanya Nia,
“kamu, bisa menghindari untuk tidak datang ke lahan dibelakang rumah kan?”
“dibelakang rumah, di kamar kosong yg berjejer di lorong itu kah ni?” sahut Nia,
“iya” sahut ni Ika, ia terlihat menyipitkan mata. “disana, banyak ruangan tidak terpakai, apalagi, di lahan kosong setelah pintu terakhir, bisa?”
“kalau boleh tahu, kenapa ni?” tanya Nia
meski dengan kaki tertatih, Nia mencoba naik, sesampai ia di pintu kamarnya, seseorang membuka pintu, Nia bisa melihat Silvi seakan sudah menungguinya,
“uaaaa aau, iiiaaakk” katanya,
Nia hanya melewati Silvi sembari membatin, “si Anak”
“siapa itu si Anak?” batin Nia.
Terdengar suara seseorang membentak dari luar kamar, suaranya menyeruak seakan ia sedang bercakap dengan yg lain, namun, hanya ada satu sumber suara yg terdengar mendominasi, seakan-akan kelakar amarah itu hanya ditumpahkan saja. Nia, terbangun. matanya menatap bayangan di pintu
perlahan, gerak tubuh Nia mulai bangkit, ia menyibak selimut, menurunkan kaki. namun, rasa nyeri membuat Nia mengernyit menahan sakit. kakinya.
Nia melihat kakinya, ia tidak tahu, bila memar yang ia dapat, rupanya separah ini. warnanya ungu dengan bentuk menonjol yg mengerikan.
meski rasa sakit itu menusuk daging, Nia berjinjit, mendekati pintu, ia ingin menguping, apa yang sedang mereka bicarakan, siapa yang berkelakar, Nia menepi dinding, melihatnya dari celah pintu yg sudah terbuka sebelumnya.
disana, Nia melihat Silvi dengan ni Ika.
“KAMU, APA BELUM PUAS KAMU BIKIN TAKUT SETENGAH MATI TEMANMU DULU, UNTUK KALI INI, HENTIKAN SILVI!! JANGAN LAKUKAN ITU LAGI. YA” bentak ni Ika,
Nia tidak mengerti apa yg ni Ika ucapkan, namun, kalimatnya menunjuk pada siapa, dan apa yg coba ia sampaikan. Nia masih menguping.
Nia bisa melihat Silvi hanya menunduk, sesekali, ia mencuri pandang, kemudian, ia melirik Nia, entah Silvi tahu atau tidak, mata Nia dan Silvi bertemu disatu titik, diakhiri dengan lekukan senyuman. Silvi tahu, Nia menguping.
banyak yang ni Ika sampaikan kepada Silvi, namun, anak itu lebih terlihat seperti tidak mendengarkan sedikitpun apa yg dikatakan oleh ni Ika, seakan apa yg keluar dari mulutnya, akan Silvi muntahkan lagi, namun, darisana, Nia jadi tahu, cara Silvi berbicara dengan pamong.
rupanya, Silvi bisa menggunakan bahasa isyarat, menggunakan gerak jari dan tangannya.
dari gerak jari jemarinya, ada beberapa yg Nia tidak akan bisa lupakan, dan setiap gerak jari itu muncul, ekspresi ni Ika selalu berubah, lebih ke ngeri, atau marah, matanya melotot, bibirnya gemetar, namun, Nia tidak tahu, apa yg Silvi sampaikan sehingga ni Ika bisa seperti itu
menahan diri di tempat itu, rupannya menambah nyeri dimata kaki Nia yg memang sudah sangat parah, sampai akhirnya, Nia tidak bisa menahan dirinya lagi, ia tersenggal, sebelum kehadirannya disadari oleh ni Ika yg kemudian memergokinya berdiri disamping pintu yg terbuka
“kamu ngapain Nia?” tanya ni Ika keheranan, tatapan matanya menyelidik, “kamu nguping ya?”
Nia tidak dapat mengelak dari tuduhan ni Ika, ia memilih diam, menunduk
“kaki kamu kenapa?” tanya ni Ika, ia melihat Nia, ada rasa panik berlebihan disana, seakan, ini bukan pertama kali
hari itu juga, ni Ika memberikan pertolongan pertama pada Nia, mengompresnya dengan es, sebelum membalut memarnya.
“ni Ika ngomong apa sama Silvi? siapa yang ni Ika maksud?”
ni Ika tidak mendengarkan Nia, ia seperti terjebak dalam duniannya sendiri, sampai Nia menepuknya.
“iya Nia, tadi kamu tanya apa?”
Nia yg melihat itu, hanya tersenyum sebelum menjawab. “tidak ada ni, Nia gak tanya apa-apa”
saat itu, Nia semakin yakin, ada yang disembunyikan ditempat ini.
“Ia ak aa” tanya Silvi,
Nia hanya bisa melihat Silvi dari tempat tidur, seharian ini, ni Ika sudah berpesan agar Nia tidak pergi kemana-mana, kakinya harus segera pulih, karena esok, Nia harus pergi ke sekolah
“iya, gak papa” ucapnya, Silvi kemudian pergi, ia menutup pintu
“iya bisa” ucap Ica,
Nia mencoba mengingat kembali gerakan tangan Silvi, memeperagakannya didepan Ica, meski tidak sama persis, Ica mencoba menyebut kalimat-kalimat itu, semacam, “Si” ucap Ica, “Sia-” Ica terus menebak “Siapa- kayaknya bukan ya” sahut Ica, sampai,
“Si Anak”
“si Anak” Nia mengulangi kalimat itu, ia tahu persis, bahwa kalimat itu tidak asing lagi, namun, makna yg terkandung didalamnya, apa, apa itu si Anak, siapa Anak yg dimaksudkan.
“tunggu” kata Ica, “saat kamu memperagakan gerakan tangan itu, ada jari telunjuk yg ditekuk gak?”
Nia mencoba mengingat lagi, “entahlah, aku lupa” jawab Nia,
“bila ada, maka kalimatnya tidak dipisah” sahut Ica, “apa, maksudnya itu, siAnak”
“siAnak” tanya Nia,
“itu kaya semacam kalimat baru bukan?” tanya Ica, “sebuah nama mungkin, atau, nama dari sesuatu?”
Nia, terdiam lama, ia mencoba mencerna kalimat Ica,
“siAnak”
Silvi dan siAnak?
“kayaknya, aku harus maen ke tempat kamu ya” sahut Ica, “boleh”
Nia tidak langsung menjawab pertanyaan Ica, sebelum sesaat kemudian, ia berpikir, mungkin Ica bisa bicara dengan Silvi, menjelaskan, siapa sianak yang ia bicarakan ini,
“boleh, datang saja, lepas maghrib nanti”
“Silvi kenapa diam saja daritadi?” tanya Nia,
“Silvi marah ya sama Nia?”
si kecil Silvi masih diam, ia tidak melihat Nia sedikitpun, lalu ia pergi, suara lonceng kepergiannya setelah menutup pintu, membuat Nia merasa heran. tidak ada yang tahu isi kepala anak itu.
Nia menuruni anak tangga, kakinya semakin menghitam, bahkan, ada kerak luka disana, awalnya, ni Elin memberi saran agar Nia dibawa ke rumah sakit, namun, Nia menolak, Nia berpendapat kakinya baik-baik saja, namun, pandangan mata ni Elin, seakan menyimpan sesuatu, sebuah rahasia
seseorang memanggil Nia, gadis yang tinggal di ujung kamar, ia berkata kepada Nia, “ada temanmu, sekarang dia ada di luar”
dengan langkah terpincang-pincang, Nia berjalan menuju pintu, disana, ia melihat Ica, tersenyum, menyapa Nia
“masuk saja” kata Nia,
pertama kali Ica masuk, Nia melihat gelagat aneh Ica, ia sempat berhenti meski hanya sepersekian detik, Ica, menggosok hidungnya, persis seperti cara seseorang yg mencium bau tidak sedap, namun, Nia tidak bertanya pada Ica, apa yg ia lakukan barusan,
“rumahnya besar ya” kata Ica, matanya menyorot semua tempat, tingkahnya hampir sama seperti pertama kali Nia datang ke rumah ini, kekagumannya pada bangunan dengan gaya lama, menyelidik sejengkal-demi sejengkal, sampai, mata Ica berhenti pada satu titik
sebuah foto dalam pigura
“itu foto siapa Nia?” tanya Ica
Nia juga tidak tahu, ia juga ingin bertanya perihal itu, namun, tak satupun ada yang tahu siapa perempuan yg tengah berdiri dengan pose seakan menggendong bayi kecil dalam pelukannya, bahkan, anak-anak lain sekalipun
meski Nia tidak menjawab, Ica tidak memaksa Nia, Ica kemudian mendekati foto itu, seakan ingin menyentuhnya, sebelum,
“temanmu” ucap ni Eva tiba-tiba, ia adalah salah satu pamong yg memiliki perawakan paling besar disini, ia melihat Ica, sebelum memberikan senyuman itu,
“iya ni, teman sekolah saya” sahut Nia, ia lupa, setidaknya Nia seharusnya mengatakan kepada pamong disini, bahwa akan ada temannya yang datang berkunjung, namun, ni Eva sepertinya bisa memaklumi itu
“suruh temanmu ikut bergabung sama yang lain ya, sudah waktunya, makan malam”
“dan kamu tau kenapa harus salak” tanya Ica
Nia menggelengkan kepala,
“konon, setiap tumbuhan Salak, selalu ada yg jaga, untuk menahan roh dari janin-janin yg sudah digugurkan” Ica mendekati Nia, “dia suka sekali dengan darah janin, dia selalu menjilati darah janin”
“siapa” tanya Nia,
“Genderuwo” bisik Ica, saat itu juga, pintu tiba-tiba dibanting dengan keras, lalu tertutup dengan sendirinya.
Ica dan Nia, memandang pintu, mereka berdua saling menatap satu sama lain.
Ica membuka pintu, menarik Nia kemudian mereka pergi, Ica juga beberapa kali melihat ke kamar bangsal, kaki Nia semakin nyeri, tapi Ica mengatakan, “denger suara mereka gak, banyak sekali yg jerit di kamar-kamar kosong ini”
Nia tidak menjawab Ica, ia ingin segera sampai di kamar
Nia menarik Ica, ia harus segera pergi darisana, sebelum pamong tahu apa yg mereka lakukan, saat melewati pintu tanpa tangga, tiba-tiba, Nia berhenti, ia memandang tajam pintu kamar itu,
untuk pertama kalinya, Nia berkeringat, dengan wajah tegang, matanya tertuju pada pintu itu
Nia melihat sekelebat bayangan sosok wanita masuk kesana, bayangan mata itu lenyap, Ica, tidak kalah dengan Nia, kaki dan tangannya gemetar hebat, lantas, Ica berucap dengan kalimat terbata-bata,
“wanita di foto itu bukan”
Ica menatap Nia, mereka pergi dari tempat itu
saat Ica menggandeng tangan Nia yg merasakan nyeri yg luar biasa, tiba-tiba, ni Ika muncul, lantas memegang tangan Nia,
“kamu bisa pulang kan dek, sudah malam loh, ibumu pasti khawatir kalau anaknya kenapa-kenapa”
ni Ika mengatakan itu sembari tersenyum, Ica pun pamit, ia pergi
Nia menatap ni Ika, ekspresinya tidak berubah, ia tetap tersenyum, namun, sebelum Nia menjelaskan apa yg terjadi, ni Ika langsung memotongnya.
“kamu bisa kembali ke kamar sendirian kan Nia,” ucapnya, “Silvi, sudah menunggu kamu daritadi”
tanpa pamit, ni Ika pergi begitu saja.
Nia membuka pintu, saat itu juga, Nia bisa melihat Silvi, ia duduk di lantai, meringkuk, sendirian, suara lonceng pintu Nia, membuat anak itu mengangkat punggungnya, kemudian, ia menatap Nia selama beberapa detik sebelum mengatakan
“ook aaah, oook aaaah iaaa”
“kamu ngomong apa” Nia mendekatkan diri,
“oook aaah, aam ii oook aaan aaang!” Silvi masih bersikeras menjelaskan “Iaaaa” Silvi menunjuk Nia, “eeeiii aaaa aaiii iii”
Nia tetap tidak mengerti, lantas, Silvi berdiri, keluar dari kamar, sebelum ia menutup pintu, Silvi menangis
“kamu mau pergi? kamu gak tidur disini?” Nia bertanya,
Silvi mengelengkan kepalanya, lantas, menutup pintu perlahan, suara lonceng pintu terdengar, Nia sendirian didalam kamar itu, ia masih memikirkan apa yg ingin Silvi sampaikan, namun, Nia tahu, malam ini, ia akan sendirian
Nia beranjak menuju ranjang, setelah ia yakin sudah mengunci pintu, Nia mengangkat kakinya, saat itu, Nia baru tahu, luka memar di kakinya, tidak hanya menghitam, namun mulai berbau busuk, nyaris seperti borok yg mengerikan, Nia mulai berpikir untuk membawa kakinya ke rumah sakit
Nia mulai memejamkan matanya, memanjakan dirinya dengan lelap yg sudah memenuhi isi kepalanya, keheningan seketika menelan Nia, dalam sunyi, Nia tertidur
namun, tiba-tiba, terdengar suara pintu terbuka, lonceng berdenting, dan Nia membuka matanya
sekilas, saat Nia membuka mata, ia melihat seorang perempuan berambut panjang, ia mengenakan gaun putih hingga menutupi kakinya, berjalan melintasi kamar Nia, perut wanita itu buncit, menyerupai wanita yg tengah mengandung
Nia, beranjak dari tempat tidurnya, lalu pergi memeriksa
Nia tidak melihat siapapun disana, dengan cepat ia langsung menutup pintu kembali, menguncinya
namun, belum juga Nia kembali ke ranjang, ia merasa, dibelakang, seseorang tengah membelai rambutnya yang panjang, menciuminya, nafasnya terasa ditengkuk Nia,
Nia mulai menangis
Nia melihat dengan mata kepala sendiri, sosok kecil merangkak dengan lendir merah darah, berebut menjilat kaki Nia, mengerumuninya, ada puluhan, lebih, memenuhi sisi ruang lain, mereka seakan-akan memenuhi tubuh Nia, jeritan Nia, memutus malam itu,
Nia terbangun, tepat di bawah kamar, ia seperti gadis yg kosong, tidak tahu apa yg terjadi dan bagaimana semua berlangsung secepat itu, namun, Nia hanya ingat satu hal, kakinya bernanah, semakin nyeri, manakala Nia mencoba untk bangun, ia terjatuh, dengan kepala menghantam lantai
setiap Nia memaksa untuk bangun, kakinya seperti kehilangan tenaga, Nia akan tersungkur, wajahnya terus menerus menghantam lantai, sampai darah terus mengalir dari hidung, Nia mulai menangis, berteriak meminta tolong kepada siapapun
dengan perasaan kacau balau, Nia hanya bisa menggunakan kedua tangannya, ia merangkak dan terus meminta tolong, sampai, seorang anak memergokinya, ia tampak shock melihat Nia, lantas mendekatinya dan bertanya apa yg terjadi,
“AKU TERJEBAK DI KAMAR ITU!!”
aneh, wajah anak itu, tampak kebingungan.
“PANGGIL NI IKA DAN SEMUA PAMONG”
anak itu, masih memandang Nia kebingungan, apa, anak itu, seperti tidak mengerti apa yg dikatan oleh Nia, sampai, anak lain datang dan bertanya, anak itu lantas menjawabnya
“Nia, tidak bisa bicara”
di ruang kecil, Nia terduduk lemas, matanya kosong, menerawang jauh entah kemana
ni Elin dan ni Eva hanya menatapnya prihatin, mereka melihat kaki Nia yg semakin dilihat semakin membuat mereka berdua bingung, bagaimana luka sepele tiba-tiba menjadi seperti ini,
tak beberapa lama, ni Ika melangkah masuk, ia menatap Nia, seakan tahu apa yg menimpa gadis malang itu, ia berbisik pada Nia, “ikut saya ya nak”
detik itu juga, Nia dibawa pergi.
selama diperjalanan, Nia masih menatap kosong, ia tidak mau berbicara, dan memang, tidak akan ada yg bisa mengerti apa yg ia ucapkan, bahkan, saat ni Elin membujuknya untuk bercerita, Nia enggan menuliskannya, ia hanya terbayang Silvi kecil, kenapa dan apa yg ia lakukan
tak beberapa lama, sampailah mereka disebuah rumah duku, dengan pohon besar familiar, Nia dibantu oleh ni Elin, ia dituntun menuju pintu rumah, mengetuknya, dari dalam, terdengar suara serak, yg menyuruh mereka masuk,
saat pintu dibuka,
terlihat seorang wanita tua duduk di kursi roda, di belakangnya, ada seseorang yg gaya berbusananya sama persis seperti busana milik para Pamong, namun, dilihat dari usianya, tampaknya ia masih sangat muda,
sementara, si wanita tua, di bibirnya, ia menggigit gambir
dengan rambut disanggul menyerupai wanita jawa, ia menatap Nia, matanya picing, seakan tidak suka dengan kehadiran Nia, pun, dia meludahi Nia seakan tidak sudi dan tahu apa yg akan ni Ika sampaikan,
si wanita, dengan nada marah berujar, “Ka, melok aku” (ikut aku)
ni Ika mengambil alih kursi roda, mendorong si wanita tua itu, masuk ke dalam kamar, sementara Nia, ia duduk, dengan tatapan kosong ia mencoba mencari tahu, dimana ia dibawa oleh para pamong, sebelum Nia tahu jawabannya, ni Elin mendekati Nia, ia berbisik
“gadis yg ada di depanmu itu, dia juga mengalami hal yg sama seperti kamu”
Nia yg mendengarnya lantas terperanjat, ia baru menyadari, gadis muda di depan Nia, mungkin usianya tidak terlalu jauh dari dirinya, tepat di kakinya, Nia menemukan bekas luka yg sama.
gadis itu mendekati Nia, ia tersenyum lantas bertanya pada Nia, “kamu sudah melihatnya, Momok” ucapnya, Nia yg sedari tadi tidak mau bicara, lantas menjawabnya, membuat ni Elin mengangkat alis pertanda tidak mengerti, namun, si gadis, ia mengerti apa yg Nia katakan, ia mengangguk
hari mulai petang, mobil yg membawa Nia mulai memasuki pagar, Nia melihat semua anak berkumpul menungguinya, namun, Nia tidak melihat kehadiran Silvi, lantas, Nia duduk di kursi roda, ni Ika mendorongnya, menuju, kamar itu.
Sekarang, Nia tahu, bagaimana ni Ika menyembunyikan tangga, rupannya, begitulah cara pamong menyembunyikan segalanya, ni Eva dan ni Elin membantu Nia, menuntunnya perlahan-lahan, hingga Nia bisa mencium lagi, bau apak yg pernah ia hirup di dalam kamar ini.
Ni Ika mendudukkan Nia di sebuah kursi lusuh yang pernah Nia lihat sebelumnya, Nia hanya duduk sembari mengawasi ni Ika yg membersihkan apa yg bisa ia bersihkan.
“dulu, rumah ini adalah rumah tempat wanita-wanita mengaborsi janin yang ia kandung” ucap ni Ika, ia beberapa kali melirik Nia, memastikan gadis itu tetap nyaman ditempat duduknya.
“Setiap hari, berkali-kali, jeritan ibu-ibu yang tidak siap mengurus anak terdengar di kamar bangsal-bangsal” ni Ika menatap nanar jendela, “dan mungkin, pemilik rumah ini adalah sosok paling berdosa dibalik semua peristiwa kelam itu”
“namun, tidak ada yg pernah berpikir bahwa ia menyimpan penderitaan itu sendirian, berkabung seorang diri, sampai, suatu malam, ia bermimpi, mimpi, bahwa ia tengah mengandung seorang anak” ni Ika menatap Nia, “namun, yg sebenarnya terjadi, ia tidak pernah mengandung”
“setiap kali ia diingatkan, bahwa ia tidak mengandung janin didalam perutnya, ia menolak, bersikeras bahwa ia mengandung” “ia akan marah dan meronta mengatakan bahwa kami membohonginya dan mencuri bayi miliknya, lantas, ia menjadi gila” ni Ika berbisik pelan,
“untuk dosa dari banyak janin yang telah berhasil ia bantu gugurkan, justru, ia menanggung, kesedihan teramat dalam yg membuat isi kepalanya rusak berkeping-keping” ni Ika masih menatap Nia, “ia memanggil bayi kecilnya, si Anak”
“sianak” “sianak” “sianak” itulah yg ia katakan
“setiap hari, ia melukai dirinya, mengurung diri dikamar sendirian, mencakari tubuhnya, menjambak rambutnya, terus dan terus, menutup diri hingga,” ni Ika melihat keatas, langit-langit “mengakhiri dirinya di tali gantung, di kamar ini”
“lalu, siapa ni Asih, ia bilang, dia adalah ibunya?”
ni Ika tersenyum, “ia, dia adalah ibunya, ibu kami juga”
Nia tampak bingung, sebelum ni Ika mengatakannya, “kami semua anak angkat, dan ia tidak pernah bisa memiliki bayi, karena ia”
“mandul” sahut Nia, ni Ika mengangguk
“bila Nia bertanya, alasan kenapa disetiap pintu terdapat lonceng adalah, ia sangat suka menimang anak yg tidak pernah ada dengan suara lonceng itu, ia menimang anak, yg bahkan tidak pernah aku lihat ada” “ia mati dengan membawa kegilaan bahwa ia memiliki sianak”
“lewati malam ini, katakan padanya, bahwa kau bukan sianak, dan setelah itu, aku akan mengatakan kepadamu, ada sebuah keluarga yg siap menerimamu Nia, selesaikan semuanya malam ini” ucap ni Ika, ia melangkah ke pintu, menutupnya, setelah ni Eva dan ni Elin berpamitan.
Nia hanya duduk sendirian, sementara malam semakin larut, sayup angin masuk, Nia merasakannya, kehadirannya, ia berdiri dibelakang Nia, menyentuh rambutnya, membelainya dengan lembut, membisiki Nia dengan satu kalimat yg menusuk “anakku”
terdengar riuh saat sesuatu merangkak keluar dari bawah ranjang tempat Nia melihat sosok janin yg pernah menghantuinya keluar, gelagat mengerikan itu seakan tercium manakala, sosok yg keluar adalah, Silvi
Nia terperanjat menatap Silvi, yg sedari tadi, rupannya bersembunyi disana
saat Nia turun, ia melihat ni Ika rupannya sudah menungguinya, “anak itu disana ya”
Nia mengangguk pasrah,
“sial sekali nasib anak itu,” sahut ni Ika, “sejak pertama di rumah ini, anak itu tak pernah punya kawan selain teman sekamarnya, karena ia berteman dengan mereka”
“mereka” ni Ika tersenyum lesuh, “ia selalu bercerita, ada bayi-bayi kecil yg selalu menemaninya bermain, membuatnya dikucilkan dan dijadikan sumber masalah, sampai ia masuk ke kamar itu dan mendapati penghuni kamar”
“Momok” kata Nia,
“butuh waktu berbulan-bulan dulu, untuk membuatnya bisa menjadi seperti sekarang, karena setiap kali ia mengingat kejadian itu, trauma yg membuatnya tidak bisa bicara lagi akan kembali, selama ini, aku yg menyembunyikan dia di kamar agar ia tidak menemuimu dulu,”
“namun, ia pergi lagi dan bersikeras membantumu, Silvi anak yg baik Nia, sama seperti kamu” “setidaknya, biarkan Silvi bersamanya, ia tidak sendirian” ni Ika menuntun Nia, memperhatikan kamar itu, sebelum meninggalkan tempat itu.
“pagi-pagi sekali, kamu harus langsung pergi darisini, tempat ini tidak bagus lagi untuk kamu tinggal, pun dengan keadaan Silvi setelah ini, maaf Nia, kamu nurut saja ya” bisik ni Ika, sebelum ia, menutup pintu.
namun, setelah berjam-jam Nia mencoba menutup mata, ia terbayang wajah Silvi, gadis itu, tahu banyak tentang tempat ini, namun, ia menutupi semua, menyimpannya rapat-rapat, hingga, terdengar suara bising dari luar kamar
Nia mendekat ke jendela, menatap 2 pamong, mengangkat seseorang, memasukkanya dalam mobil, lantas kemudian pergi, Nia berjalan mundur, ia tahu, siapa yg ada disana.
“Silvi”
pagi-pagi buta, Nia tidak tidur semalaman, ia melihat ni Ika, menatapnya biasa saja, seakan tidak mengatakan apapun, begitupun Nia, ia tidak membicarakan apapun yg ia lihat, lantas, kemudian ia mengatakannya, “kamu bisa pergi, sekarang”
sebelum meninggalkan tempat itu, Nia terdiam menatap foto, memandanginya lama, lantas kemudian berjalan pergi, “nanti ada keluarga yg akan menerima kamu sama baiknya seperti kami menerima kamu, jaga diri baik-baik, satu lagi, Silvi baik-baik saja”
“bohong” batin Nia,
namun Nia tidak mengatakannya, ia pergi seperti perintah, namun, bila memang gadis kecil itu baik-baik saja, maka setidaknya Nia ingin bertemu sekali saja, namun, hal itu, tidak akan terjadi, Nia pergi, meninggalkan tempat itu, mengunci dirinya sendiri dengan segala hal buruk
rahasia apapun yg dimiliki rumah itu, Nia merasa seperti memang sengaja tidak di ungkap, namun satu yg ia pelajari, bila memang dulu, rumah itu adalah tempat untuk pijat aborsi, apakah, selamanya mereka yg gagal untuk lahir, terus dan terus akan membayangi sisi rumah ini,
entahlah, Nia pergi dan tidak akan menengok rumah itu lagi, tidak, bahkan hingga saat ini,
terimakasih buat kontributor yg cerita tentang cerita ini.
Jika kamu suka cerita ini, jangan lupa follow terus page ini. Sampai jumpa di kisah horor selanjutnya.
Tinggalkan Balasan
Anda harus masuk untuk berkomentar.